Lebih jauh lagi melihat jenis mobil, untuk penjualan kendaraan komersial, pada Mei juga mencatat penurunan secara tahunan hampir 15% meski naik dibandingkan April yaitu dari 11.712 unit menjadi 16.259 unit.
Bukan hanya penjualan mobil yang seret dibanding tahun lalu. Laju penjualan sepeda motor juga lesu dibanding tahun lalu. Data yang dilansir oleh Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) mencatat, pada Mei penjualan sepeda motor mencapai 505.670 unit, naik 20,64% dibanding April.
Akan tetapi secara tahunan, penjualan sepeda motor turun 4,54% setelah pada April masih membukukan pertumbuhan positif 18,3% year-on-year.
"Kinerja penjualan mobil Mei mengonfirmasi tren perlambatan investasi maupun konsumsi barang-barang tahan lama, durable goods, yang berlangsung sejak kuartal akhir tahun lalu," kata Macro Strategist Mega Capital Sekuritas Lionel Prayadi dalam catatannya, Rabu (19/6/2024).
Belanja konsumen di Indonesia sepertinya masih banyak terkuras untuk kebutuhan dasar seperti belanja dapur, akibat kenaikan harga barang dan jasa yang masih belum terjeda sejak sebelum Lebaran pada April lalu.
Mengacu pada hasil Survei Konsumen terakhir yang dilansir oleh Bank Indonesia, Indeks Pembelian Barang Tahan Lama pada Mei memang turun 3,7 poin.
Penurunan terutama terjadi di semua kelompok pengeluaran, trutama kelompok menengah, pengeluaran Rp3,1 juta-Rp4 juta per bulan, di mana indeks turun sampai 9,1 poin pada Mei. Kelompok dengan pengeluaran Rp4,1 juta-Rp5 juta per bulan juga turun hingga 6,6 poin. Sementara kelompok terbawah dengan pengeluaran Rp1 juta-Rp2 juta turun 4,5 poin.
Sedangkan bila melihat laporan penjualan ritel terakhir, Indeks Penjualan Riil pada April mencatat kontraksi secara tahunan sebesar -2,7% di hampir semua kelompok barang. Kontraksi tahunan itu memperlihatkan penjualan ritel pada musim Lebaran 2024 tidaklah setinggi musim Lebaran tahun lalu.
Kajian yang dilakukan oleh Mandiri Group Research pada Mei 2024 mencatat, konsumsi masyarakat pasca Idulfitri memang berangsur normal sesuai pola historis. Namun, nilai belanja per kapita pasca Idulfitri yang tetap tinggi dibanding tahun lalu, dengan kenaikan 1,3% year-on-year, ditengarai lebih karena kenaikan harga-harga barang.
Usai Lebaran 2023, konsumen cenderung berbelanja dengan nilai lebih besar di kala kunjungan belanja turun. Sebaliknya, setelah Lebaran 2024 usai, konsumen berbelanja lebih sering tapi dengan nilai belanja lebih sedikit.
Konsumen juga banyak beralih ke barang atau jasa dengan harga lebih murah untuk mengakali lonjakan harga supaya belanja masih sesuai kemampuan keuangan (on budget). Untuk belanja dengan nilai transaksi kurang dari Rp1 juta, tercatat turun 3% dibanding tahun lalu. Namun, kunjungan belanja (shopping visit) naik 3,9% di mayoritas kategori.
Adapun pembelanjaan dengan nilai di atas Rp5 juta, memperlihatkan penurunan baik dari nilai transaksi maupun kunjungan. "Itu menunjukkan belanja produk berharga mahal seperti perlengkapan rumah atau elektronik, menurun," kata Bank Mandiri.
Kelas menengah semakin memperlihatkan tekanan konsumsi. Pasca Idulfitri, nilai belanja kelompok ini turun dibanding 2023 meski kunjungan belanja naik 3%.
"Belanja rumah tangga pada kuartal dua ini secara umum masih tertekan akibat berbagai faktor negatif mulai dari inflasi harga pangan, juga depresiasi rupiah pada kuartal 1-2024. Yang perlu diantisipasi adalah semakin turunnya nilai tabungan kelas menengah," demikian ditulis oleh riset Bank Mandiri.
BI Rate Susah Turun
Hari ini, Bank Indonesia memulai rangkaian dua hari Rapat Dewan Gubernur yang akan menentukan kebijakan bunga acuan (policy rate) bulan Juni.
Konsensus ekonom yang dilansir oleh Bloomberg menghasilkan median 6,25%. Itu berarti, pasar masih memperkirakan BI rate ditahan di level saat ini.
Pelemahan rupiah yang sempat menyentuh Rp16.412/US$ pekan lalu, bahkan bisa mengerek ekspektasi kenaikan BI rate lagi tahun ini. Terutama bila rupiah terus melemah menuju Rp16.700/US$.
Konsumsi masyarakat yang melemah sejatinya membutuhkan stimulus agar kembali bangkit. Pelonggaran moneter melalui penurunan bunga acuan dapat menjadi salah satu jurus, selain mengandalkan stimulus fiskal.
Namun, harapan penurunan bunga acuan BI semakin sulit dengan situasi rupiah yang masih menghadapi risiko pelemahan dan sewaktu-waktu bisa kembali ambles ke rekor terlemah baru, dapat memicu efek domino lebih buruk pada perekonomian secara luas.
Alhasil, harapan lebih banyak pada stimulus fiskal demi mendongkrak konsumsi masyarakat supaya tetap bertahan, syukur-syukur mampu bangkit lagi.
Indeks Keyakinan Konsumen yang turun pada Mei baik secara bulanan maupun tahunan, terutama karena pelemahan ekspektasi penghasilan dan ketersediaan lapangan kerja di semua kelompok ekonomi, seharusnya menjadi alarm terkait mendesaknya kebijakan mendorong kepercayaan diri masyarakat agar tetap mau berbelanja dan memiliki daya beli.
(rui/aji)