Lebih lanjut, Yukki menyatakan kebijakan fiskal pada 2025 akan menjadi tumpuan penting dalam jangka menengah dan panjang untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045.
"Dengan prinsip kehati-hatian dan prudent, kami optimistis dan realistis bahwa sektor riil juga dapat terus menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia," tambahnya.
Terlebih menurutnya, pencapaian realisasi investasi sepanjang 2023 yang melebihi target Rp1.400 triliun, dengan capaian Rp1.419 triliun, meningkat 17,5% dibandingkan dengan realisasi 2022.
Hal ini, sebut Yukki, akan mendorong penciptaan lapangan kerja baru dan meningkatkan pertumbuhan konsumsi domestik masyarakat.
Tantangan Eksternal
Namun, Yukki menggarisbawahi adaptasi dan peningkatan daya saing tetap menjadi kunci untuk menjaga pertumbuhan operasional bisnis. Untuk itu, masing-masing perusahaan juga akan menyesuaikan dengan kondisi eksternal dan internal yang terus berubah.
"Tantangan eksternal masih penuh ketidakpastian, di mana konflik geopolitik meningkatkan ketidakpastian yang mempengaruhi pasar keuangan global, berdampak pada fluktuasi harga komoditas terutama bahan pokok seperti pangan dan minyak."
"Lalu, pelemahan rupiah atas dollar AS yang juga menyebabkan keterbatasan dalam ketersediaan komoditas akibat biaya produksi yang meningkat," tuturnya.
Dihubungi secara terpisah, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Ketenagakerjaan Bob Azam mengingatkan pemerintah untuk lebih bijak dalam menentukan program dan proyek prioritas yang membutuhkan anggaran besar tahun depan.
Dia menilai peringkat underweight yang disematkan Morgan Stanley kepada Indonesia tidak terlepas dari kondisi ekonomi global yang juga sedang melemah dan menyebabkan ekonomi domestik tertatih untuk kembali pulih.
"Tadinya kan diharapkan tahun ini [pulih] ya, tetapi mungkin akan tertunda. Ya ini kan dipengaruhi juga oleh tingkat suku bunga yang masih tetap tinggi, sehingga masih ada tekanan terhadap ekonomi global. Nah, itu salah satu isu yang kami hadapi saat ini," ujarnya.
Ditambah lagi pasar ekspor juga dalam situasi tertekan lantaran banyak negara yang mengalihkan permintaan mereka kepada pasar domestik. Menanggapi hal itu, Bob menilai Indonesia semestinya juga bisa melihat pasar domestik sebagai andalan.
"Cuma masalahnya kan masing-masing butuh likuiditas nih. Pemerintah butuh likuiditas untuk membiayai program-program, untuk APBN, untuk mengeksekusi janji-janji kepada masyarakat," ujarnya.
Namun, Bob mengaku belum dapat menakar bagaimana dampak berjenjang dari pemeringkatan Morgan Stanley tersebut terhadap dunia usaha dan sektor riil dalam waktu dekat. Apalagi, berbeda dengan pandangan Yukki, dia menilai dunia usaha di Tanah Air saat ini sedang dalam posisi yang tidak ekspansif.
“Kalau ekspansif kan memang kita membutuhkan modal kerja dan lain sebagainya. Nah, sekarang posisi kita memang membangun pasar dalam negeri sebagai alternatif dari pasar ekspor,” tutur Bob.
Aktivitas manufaktur Indonesia memang masih ekspansif pada Mei 2024, tetapi dengan laju yang melambat. S&P Global melaporkan aktivitas manufaktur Indonesia yang diukur dengan Purchasing Managers’ Index (PMI) berada di 52,1 untuk periode Mei. PMI di atas 50 menandakan aktivitas masih di zona ekspansif.
PMI manufaktur Indonesia sudah berada di fase ekspansif selama 33 bulan beruntun. Akan tetapi, laju ekspansi sektor manufaktur Tanah Air melambat. Terlebih, pada April angkanya ada di 52,9. Angka PMI 52,1 juga menjadi yang terendah sejak November tahun lalu atau 6 bulan terakhir.
Sebagai informasi, Morgan Stanley belum lama ini juga menurunkan peringkat ekuitas Indonesia menjadi underweight. Penurunan peringkat ini lantaran lembaga keuangan tersebut melihat adanya risiko berinvestasi, terutama saham di Indonesia.
Tim strategi Morgan Stanley, termasuk Daniel Blake, melihat adanya ketidakpastian jangka pendek mengenai arah kebijakan fiskal di masa depan serta beberapa pelemahan di pasar valas di tengah-tengah suku bunga AS yang masih tinggi dan prospek dolar AS yang menguat.
Janji-janji kampanye Presiden Indonesia terpilih Prabowo Subianto, seperti proposal untuk penyediaan makan siang dan susu untuk siswa, juga dapat menimbulkan “beban fiskal yang substansial”.
(wdh)