“[Kenaikan harga CPO] didorong oleh kenaikan harga barang substitusi seperti minyak kedelai, di tengah penurunan pasokan minyak nabati secara global,” jelas Josua.
Namun, ia juga mewanti-wanti bahwa peningkatan kinerja ekspor bulanan juga dibatasi oleh data China yang mengindikasikan kontraksi impor negara tersebut dari Indonesia.
Sedangkan pada kinerja impor, Josua memprediksi akan terjadi penurunan capaian impor secara tahunan yakni terkontraksi 6,40% (yoy) akibat efek tingginya capaian impor pada tahun sebelumnya.
“Kami memperkirakan laju impor sebesar -6,40% yoy pada bulan Mei 2024, sebagian besar disebabkan oleh tingginya base effect dari bulan Mei 2023 ketika impor melonjak,” kata Josua.
Secara bulanan, lanjut Josua, impor diprediksi mengalami pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekspor. Josua berekspektasi impor akan tumbuh sebesar 24,06% (mom).
Ia menjelaskan, kenaikan tersebut utamanya disebabkan berakhirnya efek musiman Idulfitri dan pertumbuhan dua digit yang dilaporkan pada ekspor China ke Indonesia.
Dengan capain tersebut, Josua memproyeksikan defisit transaksi berjalan pada 2024 akan berada di rentang -0,94% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka itu, tercatat lebih melebar jika dibandingkan capaian tahun sebelumnya yang sebesar -0,14% dari PDB.
“Masih lebih rendah dibandingkan dengan periode 2012 - 2019, dengan rata-rata -2,50% dari PDB,” ujarnya.
Besaran tersebut, lanjut Josua, dipengaruhi beberapa faktor seperti normalisasi harga komoditas, permintaan domestik yang masih terjaga, dan potensi dampak peningkatan ketidakpastian global terhadap permintaan global.
“Faktor-faktor ini diperkirakan akan mempersempit surplus perdagangan dan dengan demikian mempengaruhi surplus barang dalam neraca transaksi berjalan,” pungkasnya.
(azr/lav)