Menurut dia, pernyataan tersebut tentu membuat investor khawatir. Bagi Indonesia, lanjut dia, acuan rasio utang di level 60% tidaklah relevan. Pasalnya, angka itu diperoleh dari kriteria konvergensi Uni Eropa, di mana saat Uni Eropa memutuskan menggunakan Euro sebagai mata uang tunggal, mereka sepakat agar tiap negara mengarahkan rasio utang terhadap PDB menuju maksimal 60%.
Kendati demikian, negara-negara Uni Eropa mempunyai rasio pajak terhadap PDB rata-rata di atas 30%. Hal itu berbeda dengan kondisi rasio pajak Indonesia yang baru menyentuh level 10,3%, bahkan terus menurun.
"Indonesia dan Uni Eropa bukan perbandingan yang apple to apple," tegas Wijayanto.
Dengan acuan rasio pajak Indonesia yang berada di level 10,3%, menurut Wijayanto, rasio utang Indonesia seharusnya maksimal 20%. Faktanya, rasio utang Indonesia sudah mencapai 39,4%.
Dalam kondisi saat ini saja, lanjut dia, debt service ratio atau rasio pengeluaran cicilan dan bunga utang terhadap penerimaan negara sudah mencapai sekitar 40%. Artinya, 40% penerimaan negara digunakan untuk membayar pokok dan bunga utang.
"Ini sudah lampu merah, di atas batas aman 30%. Jika debt to GDP ratio 50% seperti diungkap tim Prabowo, bisa jadi DSR kita mencapai jauh di atas 50%," ungkap Wijayanto.
Pasar modal Indonesia hari ini, Selasa (18/6/2024), masih tutup menyusul keputusan cuti bersama peringatan Hari Raya Iduladha. Alhasil, harga aset-aset pasar keuangan domestik pun untuk sementara 'steril' dari dinamika sentimen pasar global dan regional.
Setelah kemarin dilanda tekanan aksi jual akibat sentimen global yang memburuk, pergerakan aset-aset di pasar negara berkembang hari ini terlihat berbalik arah lebih positif menyusul rekor indeks saham di Wall Street semalam.
Sementara pergerakan valuta di pasar regional Asia terpantau bervariasi, sebagian bergerak menguat memanfaatkan indeks dolar AS yang semalam ditutup melemah meski pagi ini terlihat kembali bangkit tipis di 105,39.
Bila pasar domestik dibuka hari ini, kemungkinan rupiah juga akan terangkat sentimen positif pasar global. Itu juga yang terlihat di pasar offshore pagi ini. Kontrak nondeliverable forward (NDF) rupiah 1 pekan semalam ditutup menguat ke Rp16.455/US$ dan pagi ini semakin menguat ke kisaran Rp16.398/US$.
Hal yang sama juga terlihat dari pergerakan NDF 1 bulan. Menilik data Bloomberg real time, NDF 1 bulan rupiah terhadap dolar AS pagi ini semakin menguat ke Rp16.412/US$. Penting dicatat, NDF 1 bulan rupiah di pasar mancanegara sempat menyentuh level terlemah baru di Rp16.505/US$ pada penutupan pasar Jumat pekan lalu.
Level rupiah offshore itu belum terlalu jauh dari posisi penutupan rupiah spot Jumat pekan lalu di Rp16.412/US$.
Pergerakan rupiah offshore itu memberi sinyal penguatan bila pasar spot domestik hari ini dibuka. Harap dicatat, hari ini hanya pasar modal Indonesia, Pakistan, Sri Lanka, India dan Thailand yang terpantau masih tutup. Di luar itu, pasar modal buka seperti biasa.
Beberapa mata uang regional Asia bergerak menguat seperti ringgit Malaysia yang menguat tipis 0,09%, lalu won Korea 0,06%, dong Vietnam 0,01%, yuan China menguat 0,01%, dolar Hong Kong menguat 0,02%. Sedangkan peso Filipina masih tertekan 0,04%, dolar Singapura 0,03% juga yuan offshore yang masih melemah 0,03%.
(lav)