“Kalau harga minyak meningkat cukup lama dan signifikan, pemerintah akan memilih untuk menaikkan harga jual BBM di pasar. Imbasnya adalah terganggunya aktivitas ekonomi pelaku usaha dan masyarakat,” katanya kepada Bloomberg Technoz, Selasa (4/4/2023).
Selain meningkatnya beban usaha, efek domino anomali harga minyak dunia yang perlu diwaspadai adalah pelemahan daya beli masyarakat akibat risiko inflasi yang kian menganga. Pelaku industri, baik barang maupun jasa, mau tidak mau harus mengurangi produksinya.
"Produksi yang berkurang berimbas pada pengurangan tenaga kerja. Bukan tidak mungkin akan terjadi gelombang PHK di industri padat karya yang makin tertekan akibat harga minyak dunia yang meroket," jelasnya.
Terkait dengan antisipasi yang dilakukan pelaku usaha, Shinta menyebut hampir tidak ada langkah pasti yang bisa dilakukan pebisnis terhadap kondisi ini; selain memanfaatkan kontrak dagang minyak yang sudah ada dengan harga pasar yang belum terdampak sentimen OPEC+.
Menurut Shinta, upaya lainnya yang dapat dilakukan adalah meningkatkan perdagangan dengan negara-negara pemasok minyak dan gas (migas) untuk meredam fluktuasi harga minyak dunia.
Upaya tersebut akan berjalan efektif apabila memanfaatkan perjanjian dagang yang sudah disepakati, salah satunya Indonesia-Uni Emirat Arab (United Arab Emirates/UAE) Comprehensive Economic Partnership Agreement.
“Di luar itu rasanya tidak ada yang bisa dilakukan. Di satu sisi, agregat konsumsi domestik terhadap migas dan harga minyak global bukan sesuatu yang bisa kami kendalikan,” tuturnya.
Penaikan Harga Jual ke Konsumen
Di sisi lain, harga BBM di dalam negeri masih dikendalikan oleh pemerintah. Dengan demikian, Shinta menyebut pelaku industri masih perlu melihat bagaimana respons pemerintah terhadap situasi yang cukup pelik ini.
“Kalau pemerintah nanti memutuskan akan menaikkan harga BBM di pasar domestik, saya rasa hampir pasti pelaku usaha di semua sektor akan menaikkan harga jual [ke tingkat konsumen],” tegasnya.
Shinta menegaskan pelaku industri sudah tidak mampu lagi untuk mempertahankan harga jual, sebab inflasi tinggi sudah berlangsung cukup lama. Mereka tidak bisa terus menerus menyerap kelebihan beban usaha yang diakibatkan oleh situasi tersebut.
“Dampak kenaikan harga ini pun akan terasa di semua sektor karena BBM sifatnya adalah input produksi pokok di semua sektor usaha. Namun, [sektor] yang akan lebih dahulu menaikkan harga sudah pasti di sektor transportasi dan logistik,” tegasnya.
Setali tiga uang, Wakil Ketua Bidang Manufaktur Kadin Indonesia Johnny Darmawan menjelaskan, secara teoretis, kenaikan harga minyak dunia akan berimbas langsung pada pembengkakan ongkos produksi manufaktur; khususnya terkait dengan komponen biaya energi.
Hal itu disebutnya memberi tekanan ekstra bagi kinerja sektor manufaktur di Tanah Air, yang selama ini sudah didera isu penurunan permintaan, khususnya dari pasar global. Bagaimanapun, dia belum dapat mengalkulasi seberapa signifikan potensi kenaikan ongkos produksi manufaktur akibat risiko inflasi biaya energi tersebut.
Johnny berpendapat penurunan permintaan global terhadap produk manufaktur Indonesia –khususnya dari subsektor yang tergolong padat karya seperti pertekstilan dan persepatuan– telah mencapai 30%–40% pada kuartal I-2023 dari periode yang sama tahun lalu.
“[Penurunan permintaan terhadap produk manufaktur] bisa lebih parah lagi kalau akibat harga minyak dunia naik, lalu pemerintah dengan terpaksa menaikkan [harga BBM]. Demand-nya sudah turun, lalu cost-nya naik; itu akan memicu [penurunan kinerja manufaktur] yang lebih parah lagi,” ujarnya kepada Bloomberg Technoz, Selasa (4/4/2023).
Johnny mengatakan dampak kebijakan OPEC+ terhadap sektor manufaktur Tanah Air juga akan tergantung pada seberapa cepat harga minyak dunia terakselerasi serta bagaimana pemerintah menetapkan asumsi nilai Indonesian Crude Price (ICP).
Dia menjelaskan, jika asumsi harga minyak pemerintah berada di kisaran US$ 80/barel hingga US$ 100/barel hingga akhir tahun ini, maka industri manufaktur tidak akan terlalu terpengaruh oleh kenaikan harga minyak dunia karena tidak ada penyesuaian besar-besaran yang harus dilakukan.
“Namun, pemerintah harus melakukan intervensi [dengan tidak menaikkan ICP] untuk membantu supaya industri tidak makin parah. Begitu asumsinya kalau sudah worst case,” tutur Johnny.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama Komisi VII DPR RI telah menyepakati asumsi dasar ICP untuk Rancangan Anggaran dan Rancangan Anggaran dan Belanja Negara (RAPBN) 2023 senilai US$ 95/barel. Sebelumnya, pada 2022, ICP berada di level US$ 63/barel.
(wdh)