Langkah kedua yang disarankan Bob adalah memperhatikan daya beli masyarakat. Dalam catatan Apindo, selama 10 tahun terakhir, pertumbuhan kredit rata-rata hanya mencapai 9%, jauh di bawah angka 20% yang tercatat pada dekade sebelumnya.
Atas dasar itu, Bob mengusulkan agar pemerintah fokus mendorong daya beli masyarakat dengan membatasi penyerapan likuiditas dari masyarakat dan mempertimbangkan kebijakan seperti pemberian insentif.
"Harus mulai dipertimbangkan dengan memberikan insentif-insentif kepada masyarakat. Memang saya tahu bujet pemerintah juga sekarang terbatas di tengah kelemahannya perekonomian, pajak juga," jelas Bob.
"Untuk itu perlu juga dilihat sektor-sektor mana yang begitu dikasih insentif, memberikan pemasukan kepada pemerintah lebih besar lagi dari insentif yang dikeluarkan," tegasnya.
Dia juga menyoroti pentingnya memberikan relaksasi pajak untuk meningkatkan daya beli, terutama bagi masyarakat kelas menengah yang menurutnya sering terabaikan dalam kebijakan bantuan sosial.
"Kalau yang bawah kan dapat jamsos banyak tuh, bansos. Nah kalau yang menengah ini yang sama bansos juga tidak dapet akses. Kemudian juga trickle down dari ekonomi yang di atas juga mereka tidak mendapatkan. Ini yang paling harus jadi perhatian, karena mereka yang daya belinya terbesar ya dalam segmen konsumen kita gitu."
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmadja mengatakan selama pemerintah tidak segera membuat mekanisme penghalang banjir produk pertekstilan impor di pasar dalam negeri, gelombang PHK di industri TPT lokal akan sulit dihentikan.
"PHK akan terus berlanjut hingga para pemangku kepentingan membuat kebijakan yang menyetarakan level of playing field Indonesia dengan negara produsen TPT lainnya serta meregulasi impor," tegas Jemmy saat dihubungi, akhir pekan.
Untuk meredakan badai PHK sektor tekstil —yang diklaim telah mencapai 10.800 korban dari awal tahun hingga Mei— Jemmy menekankan kepada pemerintah untuk menetapkan kebijakan perlindungan pasar dalam negeri.
Salah satunya adalah dengan penerapan secara tarif (tariff barriers) melalui kebijakan bea masuk tindak pengamanan (BMTP) atau safeguard, dan bea masuk antidumping (BMAD).
Selain itu, pemerintah juga dinilai perlu memperketat kebijakan hambatan nontarif atau non tariff barriers (NTB) dengan memberlakukan kembali syarat persetujuan teknis (pertek) dari Kementerian Perindustrian untuk impor produk TPT.
Jemmy juga telah menegaskan bahwa China menjadi salah satu alasan kekhawatiran terbesar dalam perkembangan industri TPT di dalam negeri.
Terlebih, dengan adanya praktik perdagangan China yang kerap kali diketahui menjual barang di luar negaranya dengan harga yang lebih murah dibandingkan harga di dalam negeri mereka alias dumping.
"Saya pikir bukan hanya industri TPT dari Indonesia saja yang takut. Industri TPT negara lain juga takut dengan China karena China itu giant [raksasa tekstil], dan mereka itu menguasai industrinya itu produksi 70% dari produksi TPT dunia dari material," kata Jemmy.
Sayangnya, lanjut Jemmy, pemerintah di dalam negeri justru makin merapuhkan hambatan —baik tarif maupun nontarif— dalam menangkis potensi dumping barang TPT China ke pasar domestik.
“Pemerintah sudah tidak lagi menerapkan BMAD untuk melindungi industri, terutama TPT, sejak perubahan kedua Peraturan Menteri Perdagangan No. 36/2023 jo 7/2024 jo 8/2024,” terangnya.
Pemerintah sebelumnya padahal sudah sempat memberikan hambatan nontarif melalui lartas produk TPT agar barang pertekstilan impor —seperti pakaian jadi maupun aksesori pakaian— sulit masuk ke Indonesia atau mahal harganya.
“Sebetulnya Permendag No. 7/2024 itu bentuknya NTB, tetapi kemarin NTB-nya dicabut, disederhanakan untuk TPT. Untuk produk pakaian jadi dengan China itu belum ada [BMAD-nya,” kata Jemmy.
Dengan demikian, lanjutnya, produk TPT China yang masuk ke Indonesia benar-benar bersifat zero duty dan hanya dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) saja. “Sedangkan kalau dikirim dari jastip segala kan enggak kena PPN," tegasnya.
(prc/wdh)