Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bob Azam menguraikan beberapa alasan terkait di balik badai pemutusan hubungan kerja (PHK) industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang masih menghantui sektor tersebut hingga tahun ini.

"[Gelombang PHK] ini kan udah sejak tahun lalu ya, pertama karena ekspornya terpukul, khususnya yang [permintaan] ekspor ke Eropa ya, karena ekonomi Eropa juga turun," kata Bob kepada Bloomberg Technoz, dikutip Senin (17/6/2024).

Tidak sampai disitu, lanjut Bob, industri TPT di dalam negeri juga harus menghadapi serbuan barang impor dari China. "Ternyata masalah dalam negeri juga begitu, dibanjiri oleh barang-barang impor. Sampai saat ini belum bisa diatasi, sehingga banyak pabrik tekstil menghadapi fenomena [PHK] seperti itu," jelasnya.

"Kemudian juga di upstream [hulu], industri kita juga kurang kompetitif. Itu yang menyebabkan kita juga tertekan ya dalam menghadapi situasi seperti itu," sambungnya.

Ilustrasi pabrik tekstil./Bloomberg-Asad Zaidi

Senada dengan Bob, Ketua Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (Apsyfi) Redma Gita Wiraswata mengatakan permasalahan utama yang menyebabkan PHK massal yang tak kunjung usai, khususnya di sektor pabrik benang, adalah isu banjir impor pakaian jadi di pasar dalam negeri.

"Banjir produk impor —terutama impor pakaian jadi dan kain — yang sangat masif dan murah, harganya tidak masuk akal, dumpingnya sangat keterlaluan plus masuknya ilegal dan separuh nyolong," kata Redma.

Menyitir dari data Kementerian Perindustrian, padahal, impor pakaian jadi di Indonesia sebenarnya justru sudah menurun signifikan dari 5,2 ribu ton pada Maret tahun lalu menjadi 2,9 ribu ton Maret 2024. Pada April 2024, impor pakaian jadi juga diklaim turun 15,1% secara tahunan menjadi 2,7 ribu ton.

Impor alas kaki juga diklaim turun 52,25% atau dari 25,4 ribu ton pada Maret 2023 menjadi 14,7 ribu ton Maret 2024. Per April 2024, impor alas kaki dicatat sebanyak 16,5 ribu ton atau turun 20,76% dari bulan yang sama tahun lalu.

Selain benang, subsektor industri TPT yang juga paling terdampak badai PHK akibat kalah saing dari produk impor murah, kata Redma adalah industri pembuatan kain, persepatuan, serta garmen atau konveksi khususnya skala industri kecil dan menengah (IKM).

"Dan pemerintah tidak hadir memberikan kepastian hukum dan memberikan fasilitas setara bagi produk dalam negeri," klaim Redma.

Pada kesempatan yang berbeda, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja juga tak menampik bilamana produk TPT dalam negeri gagal bersaing dengan barang serupa impor yang membanjiri pasar domestik.

"Permasalahan utama yang menyebabkan terjadinya PHK secara masif adalah turunnya order untuk industri TPT dalam negeri," ujarnya, akhir pekan lalu.

"Turunnya order ini dikarena harga produk TPT Indonesia tidak dapat bersaing dengan produk impor yang masuk ke pasar dalam negeri Indonesia. Produk TPT Indonesia bersaing dengan produk impor yang lebih murah dibandingkan dengan produk TPT Indonesia," sambungnya.

Turunnya permintaan dan kian ketatnya persaingan  produk impor yang lebih murah mengakibatkan banyak pabrik TPT di Indonesia terpaksa melakukan PHK massal. Sentra-sentra industri yang paling terdampak berada wilayah di Jawa Barat dan Jawa Tengah.

"Hingga Mei 2024, total PHK yang terjadi di industri TPT kurang lebih terdapat 10.800 tenaga kerja yang terkena PHK. Hingga kuartal I-2024 terjadi kenaikan jumlah PHK sebesar 3.600 tenaga kerja atau naik sebesar 66.67% secara year on year (yoy)," sebut Jemmy.

(prc/wdh)

No more pages