Minyak masih menjadi sumber energi primer dunia. International Energy Agency (IEA) mencatat, penggunaan minyak dalam bauran energi (energy mix) dunia pada 2019 adalah 30,9%. Minyak menempati urutan pertama.
Oleh karena itu, pergerakan harga komoditas ini tentu akan sangat memengaruhi nasib dunia. Indonesia tidak terkecuali.
Harga Minyak Tentukan Nasib Rupiah
Pada 2008, Indonesia memutuskan keluar dari OPEC karena statusnya sudah bukan lagi negara eksportir minyak. Kini, neraca migas Indonesia sulit untuk lepas dari defisit.
Saat harga minyak naik, tentu biaya impor akan bertambah. Ketika makin banyak valas ‘dibakar’ untuk impor minyak dan produk turunannya, rupiah berisiko melemah.
Namun, sepertinya sejauh ini rupiah masih baik-baik saja. Di pasar spot, rupiah menguat 0,47% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) ke posisi Rp 14.895/US$ pada pukul 10:01 WIB.
“Rupiah biasanya sensitif terhadap fluktuasi harga minyak karena status Indonesia sebagai negara net importir. Namun, rupiah tetap kuat,” tulis Putera Satria Sambijantoro, ekonom Bahana Sekuritas, dalam risetnya.
Akan tetapi, lanjut Satria, risiko depresiasi rupiah akibat tingginya biaya impor minyak belum reda. Sebab, kemungkinan PT Pertamina (pembeli valas terbesar di pasar spot) masih belum melakukan impor.
Melihat pola historis, tambah Satria, biasanya impor migas Indonesia meningkat pada Maret-April dan November-Desember.
“Oleh karena itu, risiko tekanan terhadap rupiah bisa terjadi dalam bulan-bulan ke depan, bertepatan dengan tingginya permintaan valas untuk pembayaran utang dan dividen pada April-Mei,” demikian Satria.
APBN Bisa ‘Berdarah’
Selain tekanan terhadap nilai tukar rupiah, kenaikan harga minyak juga bisa membuat APBN ‘berdarah-darah’. Jika harga minyak terus berada di atas asumsi, pemerintah mungkin terpaksa harus menambah utang untuk menambal pembengkakan belanja negara.
Dalam APBN 2023, asumsi harga minyak Indonesia (ICP) dipatok US$ 95/barel, rata-rata setahun. Jika harga minyak dalam setahun rata-ratanya di atas asumsi itu, maka terjadi risiko pelebaran defisit anggaran.
Dokumen APBN 2023 Beserta Nota Keuangannya menyebutkan, setiap harga minyak naik US$ 1 memang penerimaan negara berpotensi bertambah Rp 3,3 triliun. Namun, pada saat yang sama, belanja negara naik lebih tinggi yaitu Rp 9,2 triliun. Oleh karena itu, ada risiko penambahan defisit anggaran sebesar Rp 5,8 triliun yang berarti pemerintah harus menambah utang.
Perhitungan itu menggunakan pendekatan ceteris paribus. Artinya, semua indikator lain dianggap tidak berubah.
Nilai ICP dekat dengan Brent, sehingga bisa disandingkan. Meski kemarin naik tajam, tetapi rata-rata harga Brent sepanjang 2023 adalah US$ 82,13/barel. Masih cukup jauh dari asumsi, sehingga risiko pelebaran defisit APBN lebih minim.
Namun ingat, ini baru April dan 2023 masih menyisakan lebih dari 8 bulan lagi. Ruang kenaikan harga minyak masih terbuka dan ancaman terhadap APBN belum sepenuhnya hilang.
Kemungkinan harga minyak menyentuh US$ 100/barel sebelum akhir tahun ini “tentu meningkat karena kebijakan OPEC+,” kata Daniel Hynes, Senior Commodity Strategist ANZ, kepada Bloomberg Television, sebagaimana diwartakan Bloomberg News.
Bjarne Schieldrop, Chief Commodity Analyst SEB, memperkirakan kebijakan OPEC+ akan lebih cepat mendorong harga Brent menuju US$ 100/barel. “Risiko ke bawah menjadi terbatas,” ujarnya, mengutip Bloomberg News.
(aji/wdh)