Logo Bloomberg Technoz

Laporan yang sama menunjukkan permintaan terhadap produk manufaktur Indonesia terakselerasi ke level tercepat dalam 6 bulan terakhir. Walakin, permintaan ekspor terpantau masih turun. Produksi manufaktur Indonesia juga mengalami peningkatan tertinggi dalam 6 bulan terakhir. Peningkatan pemesanan membuat pelaku usaha menambah tenaga kerja, meski jumlahnya tidak banyak.

Bagaimanapun, Johnny berpendapat penurunan permintaan global terhadap produk manufaktur Indonesia –khususnya dari subsektor yang tergolong padat karya seperti pertekstilan dan persepatuan– telah mencapai 30%–40% pada kuartal I-2023 dari periode yang sama tahun lalu.  

PMI manufaktur Indonesia sampai dengan Maret 2023. (Sumber: S&P Global)

“[Penurunan permintaan terhadap produk manufaktur] bisa lebih parah lagi kalau akibat harga minyak dunia naik, lalu pemerintah dengan terpaksa menaikkan [harga bahan bakar minyak/BBM]. Demand-nya sudah turun, lalu cost-nya naik; itu akan memicu [penurunan kinerja manufaktur] yang lebih parah lagi,” ujarnya kepada Bloomberg Technoz, Selasa (4/4/2023). 

Johnny mengatakan dampak kebijakan OPEC+ terhadap sektor manufaktur Tanah Air juga akan tergantung pada seberapa cepat harga minyak dunia terakselerasi serta bagaimana pemerintah menetapkan asumsi nilai Indonesian Crude Price (ICP). 

Dia menjelaskan, jika asumsi harga minyak pemerintah berada di kisaran US$ 80/barel hingga US$ 100/barel hingga akhir tahun ini, maka industri manufaktur tidak akan terlalu terpengaruh oleh kenaikan harga minyak dunia karena tidak ada penyesuaian besar-besaran yang harus dilakukan.

“Namun, pemerintah harus melakukan intervensi [dengan tidak menaikkan ICP] untuk membantu supaya industri tidak makin parah. Begitu asumsinya kalau sudah worst case,” tutur Johnny.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama Komisi VII DPR RI telah menyepakati asumsi dasar ICP untuk Rancangan Anggaran dan Rancangan Anggaran dan Belanja Negara (RAPBN) 2023 senilai US$ 95/barel. Sebelumnya, pada 2022, ICP berada di level US$ 63/barel. 

Pekerja mengemas Tolak Angin sachet di pabrik PT Industri Jamu Dan Farmasi Sido Muncul di Semarang, Jawa Tengah. (Dimas Ardian/Bloomberg)

Mencari Pasar Baru

Pada perkembangan lain, Johnny mengatakan antisipasi yang dapat dilakukan para industriawan Tanah Air saat ini adalah mencari destinasi-destinasi ekspor baru untuk mencari tambahan permintaan dari pasar internasional. Hal ini, lanjutnya, juga perlu dilakukan meskipun tidak terjadi kenaikan harga minyak.

“Tinggal bagaimana perusahaan meningkatkan demand. Mencari sumber sumber baru untuk ekspor sehingga eksportir kita bisa hidup lega lagi,” jelasnya. 

Sekadar catatan, harga minyak dunia terpental ke level tertinggi dalam lebih dari setahun setelah OPEC+ secara tidak terduga mengumumkan pengurangan produksi pada Minggu (2/4/2023).

Organisasi negara pengekspor minyak dan sekutunya, termasuk Rusia, akan memotong produksi lebih dari 1 juta barel per hari atau barrel of oil per day (bopd) mulai bulan depan hingga akhir tahun ini. 

Keputusan itu dengan cepat memengaruhi pasar minyak dunia. Harga minyak WTI berbalik untuk pertama kalinya sejak Desember, yang menandakan kenaikan karena para trader melihat permintaan akan melebihi pasokan.

Goldman Sachs Group Inc. menaikkan perkiraan harga untuk tahun ini dan 2024 dan kontrak minyak berjangka Amerika Serikat (AS) juga melonjak, yang menggarisbawahi risiko inflasi.

Sebelum keputusan OPEC+ diumumkan akhir pekan lalu, harga minyak mentah telah mencapai penurunan kuartalan sebesar 5,7% di tengah gejolak sektor perbankan dan risiko resesi. Banyak pengamat pasar memperkirakan pembalikan atau rebound akan terjadi pada paruh kedua 2023, didukung oleh meningkatnya permintaan dari China.

Harga minyak setelah putusan OPEC+ (Sumber: Bloomberg)

Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) David Sumual mengatakan sejauh ini efek lonjakan harga minyak dunia belum memukul Indonesia. Dia menyebut efek domino dari manuver OPEC+ masih perlu dipantau hingga satu atau dua pekan ke depan.

“Sejauh ini kami belum melihat ada [dampak] yang signifikan karena ini reaksi dari berita. Biasanya memang akan ada lonjakan [harga minyak] pascaberita pemotongan kuota dari OPEC+. Memang, sebelumnya harga minyak sempat jatuh cukup dalam, sempat ke arah sekitar US$ 60/barel,” kata David saat dihubungi Bloomberg Technoz, Senin (3/4/2023).

Sampai dengan kuartal III-2023, David memproyeksikan harga minyak dunia mencapai kisaran US$ 75/barel hingga US$ 85/barel. 

Di Indonesia, David menilai dampak kenaikan harga minyak dunia terhadap nominal BBM subsidi tidak akan terlalu signifikan lantaran performa rupiah masih cukup bisa diandalkan. Namun, dia melihat adanya potensi kenaikan harga BBM nonsubsidi dalam beberapa waktu ke depan.

“Belum terlalu signifikan karena rupiahnya masih kecenderungan menguat. Pengaruhnya [kenaikan harga minyak dunia] ke harga BBM [di dalam negeri] mungkin belum berubah banyak, tetapi kita lihat saja seminggu atau dua minggu ke depan. Biasanya, harga BBM yang nonsubsidi akan langsung bereaksi dan kemungkinan naik kalau [performa] rupiahnya tetap sama, tetapi harga [minyak dunia] naik terus,” jelasnya.  

Pasok minyak dunia sebelum dan sesudah pemangkasan produksi OPEC+

Terkait dengan  dampak manuver OPEC+ ke  impor minyak dan gas (migas) Indonesia, David juga menilai kinerja pengapalan minyak hingga saat ini masih dalam kondisi normal. Menurutnya, peningkatan impor minyak normal terjadi menjelang Lebaran dengan kenaikan berkisar antara 10% hingga 15%.

“Tidak banyak [kenaikannya], biasanya 10%–15% lebih tinggi kalau menjelang Lebaran, tetapi tidak banyak terpengaruh [pemotongan produksi  OPEC+] karena biasanya sudah ada impor terjadwal,” ungkapnya.

Per Februari 2023, impor migas Indonesia tercatat US$ 2,41 miliar atau turun 17,19% secara bulanan. Hal ini dipicu penurunan impor minyak mentah sebesar 45,39% secara bulanan dan penurunan hasil minyak sebesar 8,2% secara bulanan.

Sementara itu, terkait dengan dampak harga minyak dunia terhadap inflasi, David mengaku belum bisa melakukan estimasi karena pengumumannya baru saja dilakukan satu hari lalu. Namun, dia memperkirakan tidak akan ada efek terlalu menghantam terhadap inflasi Indonesia, terutama dengan kecenderungan laju inflasi yang menurun.

“Belum tahu, baru sehari jadi belum tahu.Mungkin nanti kalau sudah seminggu dan harganya sustain. Perkiraan saya belum ada pengaruh ke inflasi. Inflasi kita masih kecenderungan menurun. Saya lihat mungkin di memasuki kuartal III sudah bisa memasuki 3%–4% sesuai target BI. Sejauh ini belum ada pengaruh dari minyak,” jelasnya.

(wdh)

No more pages