"Mereduksi misalokasi sumber daya menjadi hal yang sangat krusial agar industri domestik dan kompetisi global bisa dilakukan secara bersamaan," ujar Yayan kepada Bloomberg Technoz, dikutip Jumat (14/6/2024).
Menurut Yayan, Indonesia bisa mengembangkan industri ekstraktif sembari meningkatkan produktivitas sumber daya industri lainnya.
Sebagai gambaran, nikel adalah sumber daya tidak terbarukan. Ketika habis, nikel harus memiliki nilai terhadap konversi sumber daya yang hilang, seperti melalui peningkatan sumber daya manusia (SDM) atau infrastruktur riset dan pengembangan nikel pada masa depan.
Konversi tersebut juga bisa dilakukan melalui pengembangan industri EV atau sektor transportasi Indonesia menjadi lebih bersih.
Jika Indonesia tidak memiliki peta jalan keberlanjutan, kata Yayan, maka sudah dipastikan bahwa hilangnya sumber daya nikel tidak akan memberikan dampak positif karena tidak memiliki dampak secara keadilan antargenerasi (intergenerational equity).
"Artinya manfaat hilangnya sumber daya nikel tidak memberikan dampak bagi antar generasi Indonesia pada masa depan," ujarnya.
Kapasitas Minimalis
Adapun, kapasitas produksi baterai EV berbasis nikel di Indonesia pada 2024 diperkirakan hanya mencapai 10 gigawatt-hour (GWh) atau tak sampai 0,4% dari total kapasitas global sebanyak 2.800 GWh.
Menurut riset Energy Shift Institute pada Februari, kapasitas produksi baterai di Indonesia yang tertinggal jauh dari rerata global itu berbanding terbalik dari produksi nikel yang justru melonjak lebih dari delapan kali lipat sejak 2015.
Hilirisasi nikel Indonesia, padahal, digadang-gadang pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah nikel dan menjadi pemain kunci dalam industri baterai dan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai [KBLBB] atau EV dunia.
“Namun, ketika Indonesia perlahan merangkak naik dalam rantai pasok industri baterai dan KBLBB, perlombaan di antara negara-negara lain sudah berjalan kencang,” papar riset tersebut.
Hal itu tecermin dari melesatnya pertumbuhan kapasitas produksi baterai dunia yang jauh lebih cepat dari permintaan. Pada semester I-2023, pabrik baterai di China secara rerata beroperasi kurang dari 45% kapasitas produksinya.
Seiring dengan terus dibangunnya kapasitas di China, ditambah dengan dorongan agresif dari Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE) untuk mengembangkan industri mereka, persaingan untuk investasi pun makin ketat—meski dalam pasar yang terus tumbuh.
“Sejauh ini, nilai tambah berbagai produk nikel Indonesia berkisar antara dua hingga 11 kali lipat dibandingkan dengan produk mentahnya. Namun, nilai ini masih jauh di bawah nilai tambah yang lebih dari 60 kali lipat jika mencapai produksi baterai,” kata Energy Shift.
Selaras dengan hal itu, Energy Shift memperkirakan permintaan nikel dunia untuk baterai sangat mungkin terus melambung seiring dengan laju adopsi EV,meskipun hadir teknologi alternatif.
“Berdasarkan perkembangan yang ada, produsen baterai lebih condong menempatkan investasi pabrik mereka mengikuti perkembangan pasar KBLBB, tetapi adopsi kendaraan listrik di Indonesia masih cukup lamban.”
Berita masuknya BYD ke Indonesia pun kemungkinan tidak akan berimbas besar dalam pengembangan pabrik baterai berbasis nikel karena model kendaraan mereka yang kebanyakan menggunakan baterai tanpa nikel.
Belum lagi, menurut lembaga tersebut, ketatnya persaingan Indonesia dengan negara Asean lain untuk memberikan insentif guna mendapatkan investasi pabrikan EV dan baterai, juga menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas daya tawar hilirisasi nikel dalam mendorong industri baterai dan EV di Tanah Air.
“Dengan arah saat ini, kemungkinan Indonesia hanya akan bergeser dari eksportir produk nikel untuk baja nirkarat menjadi eksportir produk setengah jadi untuk industri baterai,” menurut institut itu.
Seiring dengan pesatnya pertumbuhan permintaan nikel dunia, penting untuk berbagai pihak yang terlibat agar tidak memandang enteng skala pertumbuhan ke depan karena revolusi EV dunia baru saja memasuki babak awal.
Bakal Oversuplai
Di sisi lain, riset terbaru dari Bloomberg NEF menyimpulkan gelombang proyek pabrik baterai yang sedang dibangun di seluruh dunia bakal menghasilkan sel baterai jauh lebih banyak dari yang dibutuhkan perekonomian global.
Permintaan sel litium-ion berkembang pesat, seiring dengan produsen mobil yang melakukan elektrifikasi pada armadanya dan perusahaan utilitas memasang baterai berukuran besar untuk menstabilkan jaringan listrik.
Namun, para produsen telah mengumumkan begitu banyak pabrik baru sehingga kapasitasnya akan melebihi permintaan selama sisa dekade ini, menurut BNEF.
Pada akhir 2025, industri baterai global akan mampu memproduksi sel baterai lima kali lebih banyak dari yang dibutuhkan dunia pada tahun tersebut, demikian perkiraan BNEF dalam Electric Vehicle Outlook terbarunya.
“Ini adalah kabar baik bagi produsen mobil dan pembeli kendaraan listrik, tetapi juga menandai masa depan yang penuh tantangan bagi pendatang baru di industri baterai,” kata laporan itu.
Kelebihan pasokan paling parah terjadi di China, di mana kapasitas produksi akan melebihi permintaan baterai tahunan setidaknya 400% selama sisa dekade ini.
Beberapa pabrik yang direncanakan di seluruh dunia mungkin tertunda atau dibatalkan karena kelebihan kapasitas industri, menurut Yayoi Sekine, kepala penelitian penyimpanan energi di BNEF.
Ford, misalnya, telah membatalkan rencananya untuk meningkatkan produksi kendaraan listrik dengan alasan perang harga untuk mobil dan truk bertenaga baterai.
“Ini akan menjadi masalah di mana pun, termasuk AS,” katanya melalui surel kepada Bloomberg.
Pada saat yang sama, bahan kimia yang digunakan untuk membuat baterai mengalami perubahan. Laporan tersebut menemukan bahwa baterai litium besi fosfat semakin populer untuk menggerakkan mobil listrik, khususnya di kalangan produsen mobil China.
Bahan komponennya lebih murah dibandingkan sel litium-ion standar yang menggunakan nikel, mangan, dan kobalt, dan perubahan ini dapat menurunkan permintaan logam-logam tersebut secara signifikan pada masa depan.
BNEF memangkas perkiraan jumlah nikel yang digunakan dalam baterai tahun depan sebesar 25%
(dov/wdh)