Glencore menolak berkomentar.
Penambang dan pedagang global yang berkantor pusat di Swiss ini meningkatkan partisipasinya dalam industri nikel Indonesia, yang menyumbang sekitar setengah produksi dunia.
Perusahaan ini juga termasuk di antara perusahaan yang mengincar saham di perusahaan pertambangan PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL), yang lebih dikenal sebagai Harita Nickel.
Larangan ekspor bijih mentah pada 2020 mendorong gelombang besar investasi China dalam peleburan nikel di Indonesia yang menyebabkan lonjakan produksi dan jatuhnya harga acuan.
Tidak seperti biasanya, tidak ada perusahaan China yang memiliki saham ekuitas di proyek Ceria, meskipun China ENFI Engineering Corp telah dikontrak untuk membangunnya.
Hal ini adalah sesuatu yang ingin dipertahankan oleh perusahaan Indonesia – pemilik tambang nikel terbesar kelima di negara ini – agar produknya memenuhi syarat untuk mendapatkan subsidi yang terkait dengan Undang-Undang Pengurangan Inflasi Amerika.
Meskipun aturan pasti seputar usaha patungan masih belum jelas, ada kemungkinan usaha patungan tersebut dikecualikan jika persentase kepemilikannya terlalu tinggi pada entitas Tiongkok.
“Kami tidak mengesampingkan produk China, tetapi kami ingin produk kami dapat diterima di pasar global,” kata Sakmiwata.
Pabrik peleburan pertama Ceria Nugraha akan selesai tahun ini, dan merencanakan investasi senilai US$8 miliar di serangkaian pabrik pengolahan yang akan memproduksi bahan kimia nikel dan kobalt yang digunakan untuk baterai kendaraan listrik. Sebagian akan didanai dengan mencatatkan saham perseroan pada IPO tahun depan.
Macquarie Group Ltd, BNP Paribas SA, dan Mandiri Sekuritas telah ditunjuk sebagai penasihat pencatatan tersebut, kata Sakmiwata. Sebelum IPO, perseroan akan menggalang dana melalui private sales, termasuk dari Glencore, ujarnya.
(bbn)