IEEFA juga mencatat ada 7 perusahaan yang berkontribusi terhadap 27% total produksi batu bara nasional, yaitu; ADRO, BYAN, GEOE, PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Indika Energy Tbk (INDY), PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG), dan PT Harum Energy Tbk (HRUM).
Mereka dilaporkan membukukan kas mencapai US$10,3 miliar (Rp167,80 triliun asumsi kurs saat ini) pada 2022, berkat tren lonjakan harga si batu hitam pada saat itu.
Setelah pembayaran dividen pada pertengahan 2023, ketujuh perusahaan ini memiliki total kas US$6,5 miliar pada akhir tahun lalu. Berbanding lurus, belanja modal ketujuh perusahaan ini meningkat dari US$829 juta pada 2022 menjadi US$1,3 miliar pada 2023.
Analis Keuangan Energi IEEFA Ghee Peh mengatakan, meski 5 dari 7 perusahaan itu tidak mengindikasikan penambahan kapasitas tambang batu bara, rencana ekspansi BYAN dan GEOE tetap akan mendongkrak produksi batu bara Indonesia secara kumulatif.
“Ekspansi kapasitas Bayan Resources dan Geo Energy 58 juta ton dapat mendukung kebutuhan rencana pembangunan PLTU captive 21 gigawatt [GW], yang berpotensi menambahkan emisi karbon dioksida 53 juta ton,” paparnya.
Peran Perbankan
Makin ekspansifnya perusahaan batu bara di Indonesia dinilai tidak lepas dari peran perbankan nasional, yang masih bersedia mendanai sektor ini.
Peh mengatakan BYAN setidaknya telah mengunci pendanaan US$200 juta dari Bank Permata dan Bank Mandiri, sedangkan GEOE memperoleh US$220 juta dari Bank Mandiri.
Di sisi lain, Peh menyebut 5 perusahaan batu bara terindikasi melakukan greenwashing dengan mengeklaim rencana investasi di bisnis nonbatu bara.
“Sebagai contoh, ADRO akan mengembangkan smelter aluminium dan HRUM akan membangun smelter nikel. Namun, ADRO saat ini telah memiliki PLTU dengan total kapasitas 2,3 GW dan berencana membangun 2,2 GW lagi, di antaranya untuk mendukung smelter aluminium. Di sisi lain, HRUM belum memerinci jenis pembangkit listrik yang akan memasok smelter nikelnya."
Dugaan Greenwashing
Dia pun menyebut, meski pemerintah mendorong produksi nikel dan aluminium untuk mendukung transisi energi, risiko greenwashing dari rencana investasi PLTU captive masih menjadi ancaman terselubung.
Pada Oktober 2023, PTBA telah mengoperasikan PLTU Sumsel-8 2x600 MW. Sementara itu, di Weda Bay Industrial Park, sebanyak 5 PLTU batu bara telah dibangun, dan 12 unit lainnya direncanakan memasok listrik 3,8 GW.
Dalam laporan sebelumnya, Peh mengungkapkan, terdapat total rencana pembangunan PLTU captive dengan kapasitas 21 GW di seluruh Indonesia, yang setara setengah dari total kapasitas pembangkit nasional 2023 sebesar 40,7 GW.
Dia menghitung PLTU yang saat ini sudah beroperasi mencapai 13 GW atau setara 32% dari total kapasitas 2023. Tambahan kapasitas 21 GW diperkirakan menaikkan porsi PLTU hingga 52% dari total kapasitas pembangkit listrik Indonesia pada 2023.
“Indonesia hanya mempunyai waktu kurang dari 7 tahun untuk memenuhi komitmen Perjanjian Paris, yakni memangkas emisi CO2 hingga 32% pada 2030. Prospek pertumbuhan masif PLTU baru kemungkinan akan menimbulkan kekhawatiran di antara anggota Just Energy Transition Partnership [JETP],” terangnya.
Akibat masih tingginya jumlah PLTU di Tanah Air, dia pun menilai Indonesia akan terus terhambat untuk memenuhi komitmen dekarbonasi yang ditetapkan dalam kesepakatan JETP senilai US$20 miliar.
Padahal, Indonesia —melalui dokumen penurunan emisi nasional atau nationally determined contributions (NDC) yang merupakan mandat Perjanjian Paris, sudah berjanji menurunkan emisi CO2 32% pada 2030.
(wdh)