Bloomberg Technoz, Jakarta - Produk nikel olahan Indonesia akhirnya melantai di bursa komoditas logam dunia, London Metal Exchange (LME), sejak 23 Mei 2024.
Perinciannya, LME telah menyetujui pencatatan merek nikel olahan pertama dari Indonesia dengan kode ‘DX-zwdx’.
Menyitir situs resmi LME, merek tersebut merupakan nikel asal Morowali, Sulawesi Tengah yang diproduksi oleh PT CNGR Ding Xing New Energy.
Adapun, perusahaan tersebut merupakan patungan antara CNGR Advanced Material asal China dan Rigqueza International Pte asal Indonesia yang memiliki kapasitas produksi 50.000 metrik ton (mt) per tahun.

Informasi mengenai nikel yang masuk ke dalam LME pertama kali disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Dalam kaitan itu, Luhut menyampaikan Indonesia berpotensi menentukan harga nikel dunia usai melantai di LME.
"Saya juga ingin melaporkan pertama kali Indonesia mask di London Metal Exchange, yang selama ini kita diabaikan. Dengan kita masuk, maka indonesia sekarang, itu mimpi saya, yang menentukan harga nikel di dunia," ujar Luhut dalam agenda rapat kerja dengan Banggar DPR RI, medio pekan lalu.
Nikel diperdagangkan di level US$18.061/ton di LME hari ini, Kamis (13/6/2024), menguat 1,36% dari penutupan hari sebelumnya.
Pernah Tuai Kritik
Perjuangan Indonesia untuk diakui di LME tidaklah mudah. Beberapa waktu lalu, LME dibanjiri desakan oleh banyak perusahaan tambang Barat untuk membedakan klasifikasi antara 'nikel hijau' dan nikel biasa dalam perdagangan komoditas logamnya.
Penambang-penambang global menilai nikel murah yang diproduksi di Indonesia telah merusak harga pasar nikel premium, yang diproduksi dengan ongkos lebih mahal lantaran menggunakan sistem dan teknologi ramah lingkungan.

Namun, LME sebagai pengelola pasar logam barometer dunia justru memberi sinyal bahwa pasar 'nikel hijau' atau disebut juga 'nikel premium' atau green nickel masih belum sanggup menyaingi produksi logam sejenis dari China atau Indonesia.
Dalam catatan atau notice yang diterbitkan pada Maret, LME menegaskan pasar ‘nikel hijau’ saat ini masih terlalu kecil untuk bisa menggaransi kontrak berjangka mereka sendiri.
“LME yakin pasar ‘nikel hijau’ belum cukup besar untuk mendukung semangat memperdagangkan kontrak berjangka hijau khusus. Pelaku pasar telah menyatakan kekhawatirannya akan hal itu dan masih terdapat perdebatan pasar yang signifikan mengenai bagaimana mendefinisikan ‘hijau’,” papar bursa logam barometer dunia itu.
Orang terkaya di Australia, Andrew Forrest, bahkan mendesak LME untuk membedakan klasifikasi antara nikel "kotor" dan "bersih" dalam perdagangan logamnya. Pernyataan tersebut dibuat setelah bisnis logam pribadinya mengumumkan penutupan tambang baru-baru ini.
Forrest menambahkan, beberapa perusahaan menggunakan baterai dari nikel murah yang ditambang di Indonesia, yang dikenal dengan jejak emisi tinggi dan standar lingkungan yang dipertanyakan.
"Anda ingin punya pilihan untuk membeli nikel bersih jika Anda bisa," kata Forrest. "Jadi, LME harus membedakan mana yang kotor dan yang bersih. Keduanya adalah produk yang berbeda, dan memiliki dampak yang sangat berbeda."
(dov/wdh)