Dugaan perlakuan istimewa kepada Starlink telah disampaikan berbagai pihak. Sekjen Asosiasi Satelit Indonesia (ASSI) Sigit Jatipuro menerangkan bahwa harga Starlink di Indonesia paling murah dibandingkan pelaku jasa very-small-aperture terminal (VSAT) lain.
Ia membandingkan Starlink dipatok Rp750.000 sedangkan pemain lokal Rp3,5 juta. Bahkan di Amerika Serikat (AS), Starlink Indonesia mematok murahnya hingga 2,5 kali lipat. “Jadi bisa dibandingi berapa perbedaan harganya,” ucap Sigit dikutip dari media lokal.
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet (APJII) mengatakan hadirnya Starlink di segmen ritel karena bisa mengancam kelangsungan usaha ISP lokal, serta memunculkan aktivitas layanan internet ilegal–diikuti dengan praktik penyebaran aktivitas judi online, pornografi.
Ketua Umum APJII Muhammad Arif merespons pernyataan awal Menteri Kominfo Budi Arie bahwa Starlink diminta menghadirkan Network Operating Center (NOC) di tengah peresmian operasi dan klaim seluruh sertifikasi telah didapatkan. Hal yang selanjutnya dibantah, bahwa seluruh persyaratan layanan Elon Musk ini telah terpenuhi, termasuk NOC.
Staf Ahli Bidang IPTEK Dewan Ketahanan Nasional (Wantanas), Hendri Firman Windarto, menyatakan perlu ada regulasi untuk melindungi keamanan data dengan masuknya Starlink. Kebijakan nasional juga diperlukan untuk menghadirkan persaingan usaha nasional. Wantanas telah memberi rekomendasi secara lengkap kepada Presiden Joko Widodo.
Sejumlah pengamat teknologi meminta regulator, termasuk Kementerian Kominfo, melakukan penyelarasan agar Starlink dan pemain telekomunikasi non satelit dapat berkompetisi secara sehat agar tidak terjadi perang harga atau predatory pricing.
“Memang kita memerlukan regulator atau pemerintah yang menjamin kompetisi dilakukan sehat antar tiga model teknologi (internet seluler, serat optik, dan satelit) yang dipakai,” jelas Heru Sutadi Direktur Eksekutif ICT Pengamat Teknologi di Jakarta, Rabu (12/6/2024).
“Dengan kompetisi sehat kita harapkan masyarakat diuntungkan dengan layanan berkualitas harga terjangkau, dan cakupan wilayah yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.”
Pemerintah harus memastikan seluruh kewajiban penyelenggara dipenuhi, tanpa ada perlakuan istimewa. "Apalagi yang menggunakan frekuensi ya, harus membayar data frekuensi, membayar kewajiban USO (Universal Service Obligation), biaya telekomunikasi, sebab kalau tidak sama yang kita khawatirkan akan kompetisinya tidak sehat," Heru mengingatkan.
Seluruh pihak diminta tetap melakukan pengawasan terhadap keberlangsungan usaha dari setiap penyelenggara jasa telekomuniasi. Bila terjadi saling mengkanibalisasi akan berdampak buruk juga ke industri.
“Jangan kemudian mati karena ada predatory pricing, sebab jika ada predatory pricing maka akan terjadi operator dalam waktu jangka menengah, 3–5 tahun pendapatan akan tergerus dan orang beralih menggunakan teknologi satelit.”
Ketua Communication & Information System Security Research Center (CISSReC) Pratama Persadha menambahkan kehadiran Starlink justru membuat pesaingan di industri jasa layanan internet makin sehat.
“Adalah suatu hal yang cukup benar karena izin operasi dari Starlink hanyalah menyediakan jaringan tertutup melalui satelit, sehingga ISP yang memiliki layanan melalui kabel serta radio tidak akan tersaingi, kecuali untuk provider internet yang juga memiliki layanan VSAT, namun layanam VSAT yang ada saat inipun sebagian besar dipergunakan untuk layanan ATM, serta jaringan tertutup milik perusahaan sehingga juga akan kecil kemungkinan untuk berpindah ke layanan Starlink,” papar dia.
Kelemahan Internet Starlink
Internet satelit LEO bukan tanpa celah. Layanan ini cenderung lebih mahal dibandingkan paket internet serat optik. Internet satelit juga harus didukung oleh cuaca cerah. Pratama menjelaskan, “Starlink memiliki berbagai kekurangan seperti faktor cuaca serta harga yang lebih tinggi sehingga hanya akan diminati pada untuk daerah-daerah yang belum terjangkau layanan internet seperti daerah 3T.”
1. Risiko tak Stabil
Risiko jaringan tak stabil Starlink karena mereka menggungakan satelit orbit rendah. Berbeda dengan pada umumnya provider yang memanfaatkan jaringan kabel (fiber optic) ataupun satelit di luar angkasa.
2. Kapasitas yang Terbatas
Layanan internet termasuk berbasis satelit juga memiliki maksimal kapasitas. Jika pemakaian dalam kurun waktu tertentu telah melebihi kuota maka besar peluang kecepatan internet menjadi melambat atau bahkan tidak dapat dipakai. Pada bagian lain, Starlink kerap mengklaim pemakaiannnya tanpa batas kuota.
Kapasitas juga akan habis tersedot jika semakin banyak pemakaian atau bertambahnya jumlah perangkat yang terhubung. Namun begitu, jangkauan luas dari jaringan internet satelit tetap menjadi keunggulan dibandingkan provider dengan teknologi fiber optic.
Teknologi yang dirancang Starlink punya risiko bertabrakan apalagi saat target satelit terus bertambah. Jika jumlahnya semakin besar beberapa pemerhati lingkungan menjadi khawatir puing–puing di luar antariksa.
Kritikus mengingatkan orbit akan menjadi penuh sesak dengan ribuan LEO mengudara—juga bisa saling menabrak. Per 2019 SpaceX telah meluncurkan 180 satelit LEO ke antariksa dan terus melonjak hingga lebih dari 3.000, menurut Scientific American. Target para insinyur di Starlink dapat membangun 12.000 satelit.
4. Tarif Paket Mahal
Untuk sebuah layanan internet, Starlink masuk kategori lebih mahal. Beberapa provider yang memanfaatkan jaringan broadband. Harga berlangganan mulai Rp750.000 dan Anda harus membeli perangkat ‘Starlink Kit’ Rp7,8 juta.
(wep)