Walhasil, pasok beras untuk OP pun terpaksa sepenuhnya menggunakan beras impor kualitas premium dengan harga murah setara dengan kualitas beras medium produksi lokal.
“Ini yang menjadi dilema. Mengapa kami harus impor? Karena memang kami tidak bisa menyerap seperti dahulu. Pada 2022 itu tidak ada barangnya [beras produksi lokal]. Akibat CBP keluar terus [untuk kebutuhan OP], maka keputusan impor 500.000 ton terpaksa dilakukan. Itu pun tidak bisa teralisasi sepenuhnya karena perintah impornya mepet, baru terbit pada 19 Desember 2022,” jelasnya.
Pada akhir tahun lalu, impor beras dari penugasan pemerintah hanya terealisasi 80.000 ton, sedangkan sisanya tiba di Tanah Air baru pada Januari–Februari 2023. Buwas menyebut 500.000 ton beras impor itu pun sudah terserap sepenuhnya untuk kebutuhan OP kuartal I-2023.
“Akhirnya stok di Bulog hanya sisa sedikit, kurang lebih 245.000 ton. Dari sisa itu, kami dapat penugasan lagi untuk penyaluran bansos [bantuan sosial] bagi sekitar 21 juta KPM [keluarga penerima manfaat], yang setiap bulannya menyedot 210.000–215.000 ton CBP,” ujar Buwas.
Upaya Penyerapan
Lebih lanjut, Buwas menggarisbawahi bahwa Bulog sudah berupaya semaksimal mungkin untuk memacu serapan dalam negeri guna menambah CBP. Namun, sampai dengan hari ini, instansinya hanya sanggup merealisasikan serapan 86.813 ton beras dari dalam negeri.
Sebenarnya, Bulog sudah mendapatkan komitmen pemasokan beras sebanyak 60.000 ton dari sekitar 27 mitra penggilingan. Termasuk di antaranya PT Wilmar Padi Indonesia, PT Buyung Putra Pangan, dan PT Food Station Tjipinang Raya.
Namun, tutur Buwas, hingga saat ini komitmen tersebut tidak kunjung terealisasi lantaran para pengusaha swasta juga mengaku kesulitan mendapatkan pasokan gabah dan beras dari dalam negeri.
Menurut pantauan Bulog, sulitnya mendapatkan beras produksi dalam negeri untuk mengamankan CBP dipicu oleh jadwal panen raya yang tidak serempak di masing-masing sentra produksi gabah.
Jawa Timur dan Jawa Tengah telah mencapai 90% masa panen rayanya, sedangkan Jawa Barat baru memulai masa panen raya. Akibatnya, pengusaha penggilingan dari berbagai daerah–termasuk dari luar Jawa seperti Lampung–saling berebut untuk membeli mendapatkan stok. Mereka bahkan berani membeli dengan harga tinggi.
“Beberapa hari lalu kami juga datang ke lapangan untuk melihat panen di Sulawesi Selatan bersama Presiden. Di situ terlihat bahwa Bulog kalah saing dalam melakukan serapan karena ada aturan HPP [harga patokan pembelian]. Pengusaha [penggilingan] yang datang ke sana itu termasuk dari Jawa, bahkan Aceh dan Medan. Akibatnya, Bulog hanya dapat 4.000 ton dari masa panen kemarin di Sulsel,” terang Buwas.
Di tengah ketatnya persaingan untuk menyerap produksi lokal dan kian terkikisnya CBP, Buwas mengaku Bulog "kehabisan amunisi", bahkan untuk terus melakukan tugas penyaluran bansos bulanan.
Impor Juga Sulit
Bahkan, lanjut Buwas, opsi menambah pasokan dari impor sebanyak 500.000 ton pun tidak dapat diekseskusi dengan mudah. “[Wacana impor] itu belum terlaksana karena kami belum bisa mendapatkan [stok beras] dari beberapa negara yang sudah kami jajaki,” tuturnya.
Sekadar catatan, Bulog juga baru saja menerima jatah impor beras sebanyak 2 juta ton untuk 2023 dari Badan Pangan Nasional (Bapanas). Tujuan impor tersebut salah satunya adalah untuk pengamanan stok penyangga, yang hanya akan disalurkan jika ada mandat dari pemerintah, dan bukan untuk dijual secara komersial.
“Pesan Presiden, kalau dikasih jatah impor 2 juta ton, bukan berarti harus didatangkan [direalisasikan]. Dilihat dahulu kebutuhannya. Diutamakan bia bagaimanapun harus menyerap produksi dalam negeri. Walaupun, secara harga, lebih murah beras impor. Namun, kami tidak mencari untung. Waktu lelang juga terbuka karena kami diaudit BPKP dan hasilnya akan diaudit BPK,” tegas Buwas.
(wdh)