Pertama, menolak kebijakan pemerintah untuk memberikan izin pada badan usaha ormas keagamaan karena bertentangan dengan Undang Undang No. 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) yang menyatakan bahwa izin hanya dapat diberikan kepada badan usaha, koperasi, atau perusahaan perseorangan melalui cara lelang.
Kedua, meminta pemerintah untuk meninjau ulang pemberian izin usaha pertambangan (IUP) kepada badan usaha ormas keagamaan karena berpotensi memunculkan penyalahgunaan kewenangan karena tidak melalui prosedur yang sesuai dengan UU No. 3/2020.
Ketiga, meminta pemerintah untuk meninjau ulang izin tambang pada ormas keagamaan karena berpotensi menciptakan ketegangan sosial dan konflik horizontal apabila terjadi persoalan di tingkat lokal.
Keempat, mengajak ormas keagamaan untuk tetap menjadi kekuatan penjaga moral, nilai, dan etika bangsa serta terus menjadi pendamping umat demi kemaslahatan dan kesejahteraan bersama.
Kelima, meminta pemerintah tegas melakukan penegakan hukum terhadap kejahatan lingkungan yang selama ini terjadi serta melakukan pemulihan dampak sosial ekologis akibat perampasan lahan, penggusuran, deforestasi, dan eksploitasi sumber daya alam.
Keenam, mengajak warga masyarakat untuk terus mengkritisi kebijakan pemerintah dan memastikan bahwa penyelenggaraan negara tetap sesuai dengan konstitusi dan diperuntukkan untuk kemaslahatan rakyat.
Sekadar catatan, kebijakan pemberian kewenangan untuk ormas keagamaan dalam mengelola WIUPK termaktub dalam Peraturan Pemerintah No. 25/2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
“Dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, WIUPK dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada badan usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan,” sebagaimana dikutip melalui Pasal 83A ayat 1 beleid tersebut, Jumat (31/5/2024).
Sebelumnya berbagai juga telah menyatakan tidak mendukung atau bahkan menolak pemberian IUP tambang batu bara eks PKP2B kepada ormas keagamaan. Mereka yang menolak termasuk Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), dan Warga Nahdlatul Ulama Universitas Gadjah Mada (NU UGM).
Sementara itu, organisasi yang relatif netral tetapi cenderung tidak setuju mencakup Persatuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dan Muhammadiyah. Adapun, Majelis Ulama Indonesia (MUI) justru mengapresiasi kebijakan pemerintah tersebut.
Sejauh ini, tercatat baru Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang telah menyatakan kesedian untuk mengelola tambang batu bara bekas lahan PT Kaltim Prima Coal (KPC), salah satu anak usaha PT Bumi Resources Tbk (BUMI) dari Grup Bakrie.
(dov/wdh)