Logo Bloomberg Technoz

Bunga Utang

Soal utang, sebenarnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah memberi wanti-wanti. Kepala Negara menegaskan suku bunga tinggi akan membuat beban utang makin melambung.

"Semua takut masalah itu, karena ketika bunga pinjaman naik sedikit saja, beban terhadap fiskal akan sangat besar," katanya dalam acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan 2024, bulan lalu.

Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas, menilai risiko utang mungkin sudah terlihat tahun ini. Hingga akhir April, pemerintah baru merealisasikan 13,6% dari pembiayaan utang di APBN.

“Pembiayaan yang menumpuk di akhir (backloading), terutama melalui penerbitan obligasi, bisa menyebabkan tekanan terhadap fiskal pada semester II, jika suku bunga naik lagi,” tegas Satria dalam risetnya.

Pasalnya, suku bunga sepertinya masih akan berada dalam tren tinggi. Di Amerika Serikat, yang merupakan pusat perekonomian dunia, pasar masih samar-samar soal arah suku bunga acuan.

Para pejabat teras Federal Reserve pun ramai-ramai menyatakan bahwa belum saatnya bicara soal penurunan suku bunga acuan. Federal Funds Rate tetap akan bertahan tinggi untuk waktu lama (higher for longer).

Gubernur The Fed Dallas Lorie Logan, misalnya, menegaskan bahwa pengetatan moneter belum sepenuhnya berhasil dalam mengerem laju ekspansi ekonomi, yang berujung pada inflasi yang masih ‘bandel’.

“Terlalu dini untuk berpikir soal penurunan suku bunga. Saya butuh solusi atas semua ketidakpastian ini. Kami harus tetap fleksibel dan melihat perkembangan data,” katanya bulan lalu, seperti diwartakan Bloomberg News.

'Dihukum' Pasar

Oleh karena itu, risiko pembengkakan utang sepertinya masih akan menjadi momok bagi perekonomian. Termasuk di Indonesia, bahkan saat Prabowo-Gibran baru duduk di Istana Negara.

Ditambah lagi risiko utang datang di tengah perlambatan penerimaan negara. Pada Januari-April 2024, penerimaan negara turun 7,6% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Perkembangan ini yang membuat pasar seakan ‘menghukum’ Indonesia. Morgan Stanley merevisi ke bawah pasar saham Tanah Air menjadi underweight.

Langkah ini dilakukan karena adanya ketidakpastian jangka pendek mengenai arah kebijakan fiskal di masa depan pada periode transisi pemerintahan baru ditambah pelemahan mata uang rupiah.

Janji-janji kampanye Prabowo-Gibran seperti program makan siang gratis dinilai dapat menimbulkan “beban fiskal yang substansial”. Pada bagian lain prospek pendapatan Indonesia juga memburuk, tulis Morgan Stanley.

(aji)

No more pages