Kabar itu menambah beban tambahan bagi rupiah yang sudah terseok-seok sepanjang pekan ini akibat sentimen pasar global bunga acuan AS.
Rabu malam nanti waktu Indonesia atau Rabu pagi waktu AS, Badan Statistik AS akan melaporkan data inflasi harga konsumen pada Mei di mana konsensus pasar sejauh ini memperkirakan inflasi IHK akan naik 0,1% month-on-month, turun dibanding April 0,3%. Sedangkan secara tahunan diprediksi naik 3,4%, tidak berubah dibanding April.
Inflasi inti AS pada bulan lalu diprediksi naik 0,3% month-to-month, sama dengan April. Sedangkan secara tahunan, inflasi inti AS pada Mei diperkirakan sebesar 3,5%, lebih rendah dibanding April 3,6%.
Rupiah telah kehilangan hampir 6% nilainya sepanjang tahun ini akibat tergilas dolar AS, lonjakan permintaan valas musiman pada kuartal dua yang memuncak di tengah sokongan yang minim dari neraca dagang dan arus modal asing.
Pada penutupan perdagangan kemarin, rupiah terperosok ke level terlemah sejak 6 April 2020 ketika pandemi memicu krisis.
Pada pembukaan pasar Asia pagi ini, terlihat tekanan dialami oleh mata uang Asia seperti won Korea yang dibuka lemah 0,15%, dolar Taiwan lanjut tertekan dengan penurunan terdalam hingga 0,45%. Yuan China juga masih tergerus 0,09%. Indeks saham di Asia juga dibuka lemah di mana Nikkei tergerus 0,6%, sementara Kospi Korea dibuka menguat 0,3% di tengah merahnya bursa Asia Pasifik.
Analisis teknikal
Secara teknikal nilai rupiah berpotensi melanjutkan tren pelemahan hari ini dengan target koreksi menuju area level Rp16.300/US$ yang merupakan support terdekat sebelum break support psikologis dengan target pelemahan selanjutnya akan tertahan di Rp16.340/US$-Rp16.380/US$.
Apabila kembali break support tersebut, rupiah berpotensi melemah lanjutan dengan menuju level Rp16.400/US$ sebagai support terkuat.
Jika nilai rupiah mampu berbalik menguat, resistance menarik dicermati pada level Rp16.250/US$ dan selanjutnya Rp16.210/US$. Dalam jangka menengah (Mid-term) rupiah masih memiliki potensi penguatan lanjutan ke level Rp16.150/US$ meski kian terbatas.
Kekhawatiran pasar
Pelemahan rupiah telah memicu kekhawatiran pasar seperti yang terlihat dari tekanan jual di pasar saham dan surat utang negara beberapa hari ini. Indeks saham semakin menjauhi 7.000, sementara imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) sudah menembus di atas 7% untuk tenor acuan 10 tahun.
Dalam lelang Surat Utang Negara (SUN) kemarin, animo pemodal juga turun. Nilai permintaan yang masuk dalam lelang menurun 8,8% yaitu menjadi sebesar Rp42,9 triliun. Dalam lelang SUN sebelumnya permintaan masuk mencapai Rp47,11 triliun.
Pelemahan rupiah yang semakin dalam memunculkan kekhawatiran investor akan potensi kenaikan BI rate lagi dalam waktu dekat yang akan menjadi kabar buruk bagi pemegang surat utang.
Pejabat bank sentral menilai, seharusnya rupiah lebih kuat dari level Rp16.300/US$, memberi sinyal kepercayaan diri bahwa pelemahan rupiah belakangan tidak sesuai fundamentalnya. Bank Indonesia terus melakukan intervensi untuk menahan pelemahan rupiah baik intervensi di pasar spot maupun domestic NDF, seperti dinyatakan oleh Direktur Eksekutif Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas Bank Indonesia Edi Susianto.
Presiden Joko Widodo sehari sebelumnya sempat menyinggung soal pelemahan rupiah dan menilai pelemahan saat ini masih dalam kondisi yang baik.
"Semua negara sekarang ini mengalami hal yang sama, tertekan oleh yang namanya dolar kursnya. Ketidakpastian global menghantui semua negara. Kalau masih di angka Rp16.200-16.300 masih posisi yang bagus," kata Jokowi.
Pelemahan nilai tukar sulit dianggap remeh karena dampaknya bisa luas ke perekonomian. Inflasi bisa kembali naik akibat kenaikan harga barang impor yang jadi mahal karena dolar AS yang mahal. Lonjakan inflasi akan mendorong bank sentral memperketat moneter dan efeknya adalah perlambatan ekonomi.
(rui)