Bloomberg Technoz, Jakarta - Rupiah spot hari ini, Selasa (11/6/2024) ditutup di level terlemah sejak 6 April 2020, yang terburuk sejak krisis akibat pandemi Covid-19 menerjang.
Pelemahan rupiah hari ini terutama karena tekanan sentimen pasar global yang telah melambungkan kekuatan dolar Amerika Serikat (AS) dan menekan mata uang yang menjadi lawannya, termasuk rupiah.
Rupiah hari sempat menyentuh Rp16.303/US$ dalam perdagangan intraday dan akhirnya ditutup turun 0,06% dibanding level penutupan hari sebelumnya. Sementara kurs tengah Bank Indonesia, Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), bahkan ditutup lebih lemah di Rp16.295/US$.
Level penutupan itu terakhir terlihat pada awal April 2020 lalu ketika pandemi Covid-19 mematikan perekonomian. Sepanjang sejarah, nilai terlemah rupiah sempat pecah di level rekor beberapa kali. Pertama, saat krisis moneter 1997-1998 yang menjatuhkan nilai tukar ke Rp16.800/US$. Kedua, ketika krisis pecah akibat pandemi Covid-19 pada 2020 lalu di mana rupiah sempat ambles ke Rp16.575/US$ pada 23 Maret 2020.
Di kawasan Asia, pelemahan rupiah hari ini mungkin bukan yang terdalam, hanya 0,06%. Bandingkan dengan dolar Taiwan melemah 0,45%, won Korea 0,15%, begitu juga yuan China yang melemah 0,09%. Namun, rupiah sudah mengawali pelemahan lebih dulu dibanding mata uang Asia lain.
Sepanjang tahun ini, pelemahan rupiah sudah hampir 6% year-to-date, membuatnya menjadi salah satu mata uang dengan performa terburuk di Asia sejauh ini.
Rupiah bukan hanya tertekan sentimen pasar global yang berepisentrum pada arah kebijakan bunga Federal Reserve yang mencemaskan pasar. Mata uang Indonesia juga menghadapi tekanan musiman di mana permintaan valas di pasar biasanya melonjak tinggi pada kuartal dua setiap tahun.
Permintaan dolar AS memuncak akibat kebutuhan valas korporasi untuk membayar dividen pada investor asing, lalu permintaan valas ratusan ribu calon jamaah haji yang berangkat ke Mekkah, Arab Saudi. Belum lagi permintaan valas rutin untuk impor minyak oleh Pertamina juga kebutuhan valas PLN, dua BUMn sektor energi. Ditambah juga kebutuhan pembayaran utang luar negeri pemerintah.
Pada saat yang sama, sokongan fundamental rupiah juga kurang. Nilai surplus neraca dagang mengecil. Transaksi berjalan defisitnya kian besar.

Pasar khawatir
Pelemahan rupiah yang berlarut-larut itu membuat pasar khawatir. Itu yang terlihat dari aksi jual investor di pasar saham dan surat utang negara beberapa hari ini.
Hari ini, indeks saham IHSG ditutup turun di 6.855,69. Sedangkan tingkat imbal hasil surat utang juga naik di hampir semua kurva. Yield SBN-2Y kini di 6,712% naik 4,7 bps, sedangkan yield tenor 10Y hari ini menembus 7,051%, naik 5,2 bps.
Dalam lelang Surat Utang Negara (SUN) hari ini, animo pemodal juga turun. Nilai permintaan yang masuk dalam lelang menurun 8,8% yaitu menjadi sebesar Rp42,9 triliun. Dalam lelang SUN sebelumnya permintaan masuk mencapai Rp47,11 triliun.
Permintaan imbal hasil dalam lelang hari ini juga melesat naik sejurus dengan lonjakan yield di pasar sekunder. Pemerintah akhirnya memenangkan permintaan sesuai target indikatif di Rp22 triliun.
Tenor favorit yang menjadi incaran masih di seri FR0101 (htm. 2029) dan FR0100 (htm. 2034), masing-masing diserbu Rp13,25 triliun dan Rp12,45 triliun.
Pelemahan rupiah yang semakin dalam memunculkan kekhawatiran investor akan potensi kenaikan BI rate lagi dalam waktu dekat yang akan menjadi kabar buruk bagi pemegang surat utang.
Pejabat bank sentral menilai, seharusnya rupiah lebih kuat dari level Rp16.300/US$, memberi sinyal kepercayaan diri bahwa pelemahan rupiah belakangan tidak sesuai fundamentalnya. Bank Indonesia terus melakukan intervensi untuk menahan pelemahan rupiah baik intervensi di pasar spot maupun domestic NDF, seperti dinyatakan oleh Direktur Eksekutif Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas Bank Indonesia Edi Susianto.
Presiden Joko Widodo sehari sebelumnya sempat menyinggung soal pelemahan rupiah dan menilai pelemahan saat ini masih dalam kondisi yang baik.
"Semua negara sekarang ini mengalami hal yang sama, tertekan oleh yang namanya dolar kursnya. Ketidakpastian global menghantui semua negara. Kalau masih di angka Rp16.200-16.300 masih posisi yang bagus," kata Jokowi.
Pelemahan nilai tukar sulit dianggap remeh karena dampaknya bisa luas ke perekonomian. Inflasi bisa kembali naik akibat kenaikan harga barang impor yang jadi mahal karena dolar AS yang mahal. Lonjakan inflasi akan mendorong bank sentral memperketat moneter dan efeknya adalah perlambatan ekonomi.
(rui)