Cuma memang, Inarno mengakui, sosialisasi selama sembilan bulan terkait kebijakan full call auction (FCA) ternyata belum cukup.
"Kami menyadari, mungkin sembilan bulan sosialisasi masih kurang. Kami masih harus terus melakukan sosialisasi, bahwa dengan PPK FCA, saham yang mandek di Rp50 dan bertahun-tahun tidak bisa dijual, kini bisa kembali ditransaksikan," tutur Inarno.
"Kami menyadari, mungkin 9 bulan sosialisasi masih kurang."
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK Inarno Djajadi
Sebelum mengerucut pada kebijakan full call auction (FCA) yang memungkinkan saham menjuju Rp1, otoritas terkait di bursa saham domestik juga telah melakukan kajian untuk saham gocap.
Kajian ini dilakukan mulai 2012 hingga 2018. Selama periode ini juga, menurut Inarno, kajian terkait harga minimum saham gocap, namun masuh memiliki fundamental cukup baik, dilakukan.
"Kajian itu termasuk di dalamnya ada kajian terhadp penny stock. Kami melihat bagaimana penny stock menjadi best practice di luar sana," kata Inarno.
Penny Stock Tetap Berisiko
Di AS, batasnya bukan gocap, tapi US$5/saham. Saham yang kemudian disebut penny stock ini banyak memicu aksi penipuan, terutama selama periode 1970-1980.
Melansir Investopedia, barulah pada 1990, otoritas bursa setempat melakukan reformasi kebijakan penny stock. Kebijakan ini merupakan bagian dari Securities Enforcement Remedies and Penny Stock Reform Act of 1990.
Meski sudah dilakukan pengetatan melalui kebijakan tersebut, penny stock tetap berisiko. Isunya, soal transparansi.
Pasalnya, informasi fundamental perusahaan penny stock tidak sebanyak perusahaan di luar kategori ini. Investor tidak memiliki akses terhadap riwayat keuangan perusahaan, termasuk kinerja keuangan selama beberapa kuartal terakhir.
Kondisi tersebut berisiko menghadirkan pihak-pihak tertentu yang ingin memanipulasi harga, sehingga memicu risiko kerugian yang besar bagi para investor.
'Putihkan' Bandar
Mantan Direktur Utama BEI Hasan Zein Mahmud mengkritik kebijakan full call auction (FCA). Menurutnya, kebijakan ini tidak lebih baik ketimbang continuous call auction.
"Tidak ada suatu sistem sempurna yang mampu menampung semua mekanisme pasar yang ideal. Tapi, empiris membuktikan bahwa continuous auction menghasilkan harga yang lebih baik ketimbang full call auction. Harga yang berasal dari investor driven mechanism lebih baik dari dealer driven mechanism," tutur Hasan Zein.
Dalam konteks tersebut, menurut Hasan Zein, otoritas dan bursa seharusnya mengajak para 'bandar' menjadi market maker di dunia transparan.
"Seorang specialist di NYSE, adalah orang yang registered dan berizin. Mereka memasang two way quotes, bid and offer secara terbuka. Bid dan Offer yang mereka input harus minimal sama baiknya dengan best bid dan best offer produk continuous auction."
Dengan demikian, 'bandar', pindah dari tempat gelap ke tempat terang, bertransformasi dari pemburu riba dengan segala cara, menjadi penyedia likuiditas sekaligus penjaga harga wajar suatu saham.
Harga, terutama closing price, adalah segalanya dari bursa saham. Dia menentukan perhitungan indeks harga. Dia menentukan nilai portfolio pemegang saham, sekaligus dasar perhitungan laba rugi (unrealized). Dia menentukan nilai aktiva suatu reksadana dan ETF. Dia menentukan harga penyelesaian kontrak kontrak derivatif yang menggunakan harga saham sebagai underlying asset.
"Dalam konteks itu, sejak dulu saya tidak sependapat dengan penggunaan full call auction (FCA) dalam penentuan closing price. Harga ditentukan berdasar volume peredaran terbanyak. Sangat jelas: yang besar menentukan harga. Ruang manipulasi harga terbuka lebar."
(red)