Redma menuturkan, selain benang, subsektor industri TPT yang juga paling terdampak badai PHK akibat kalah saing dari produk impor murah adalah industri pembuatan kain, persepatuan, serta garmen atau konveksi khususnya skala industri kecil dan menengah (IKM).
"Dan pemerintah tidak hadir memberikan kepastian hukum dan memberikan fasilitas setara bagi produk dalam negeri," tegasnya.
Redma mengeklaim korban PHK industri TPT, khususnya di pabrikan benang, berisiko menembus 1 juta juta pekerja tahun ini. Hal itu berbanding lurus dengan makin anjloknya utilisasi pabrik benang yang sudah terjadi sejak 2022.
"Kalau kita hitung konversi dari produksi turunannya, [angka PHK] bisa ekuivalen dengan 1 juta orang [pada 2024]. Pada kuartal I-2022, utilisasi produksi 72%, tenaga kerja industri TPT plus IKM [industri kecil menengah] sekitar 5 juta orang. Per kuartal IV-2023, utilisasinya tinggal 45%. Maka kalau dikonversi [setara dengan] di atas 1 juta [tenaga kerja]," ujarnya.
Sebelumnya, Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) melansir laporan bahwa sepanjang awal tahun sampai dengan 8 Mei 2024, akumulasi pekerja sektor industri TPT yang menjadi korban PHK mencapai 10.800 orang.
Akan tetapi, menurut Redma, angka tersebut hanya mencakup anggota KSPN yang berasal dari industri TPT skala menengah-besar. "Kalau ditambah dengan IKM dan pabrik nonanggota KSPN, pasti lebih besar dari yang dilaporkan."
Senada dengan pemaparan Redma, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja juga tak menampik bilamana produk TPT dalam negeri gagal bersaing dengan barang serupa impor yang membanjiri pasar domestik.
"Permasalahan utama yang menyebabkan terjadinya PHK secara masif adalah turunnya order untuk industri TPT dalam negeri," ujarnya, akhir pekan lalu.
"Turunnya order ini dikarena harga produk TPT Indonesia tidak dapat bersaing dengan produk impor yang masuk ke pasar dalam negeri Indonesia. Produk TPT Indonesia bersaing dengan produk impor yang lebih murah dibandingkan dengan produk TPT Indonesia," sambungnya.
Jemmy juga menyebut bahwa faktor yang menyebabkan murahnya produk impor TPT yang masuk ke pasar dalam negeri adalah medan persaingan atau level playing field yang lebih menguntungkan produsen TPT negara lain dibandingkan dengan Indonesia.
Dia mencontohkan produk TPT impor tanpa label berbahasa Indonesia bisa leluasa beredar di dalam negeri, demikian halnya dengan produk impor tanpa ada merek, produk impor yang masuk melewati jalur yang tidak seharusnya, dan sebagainya.
Turunnya permintaan dan kian ketatnya persaingan produk impor yang lebih murah mengakibatkan banyak pabrik TPT di Indonesia terpaksa melakukan PHK massal. Sentra-sentra industri yang paling terdampak berada wilayah di Jawa Barat dan Jawa Tengah.
"Hingga Mei 2024, total PHK yang terjadi di industri TPT kurang lebih terdapat 10.800 tenaga kerja yang terkena PHK. Hingga kuartal I-2024 terjadi kenaikan jumlah PHK sebesar 3.600 tenaga kerja atau naik sebesar 66.67% secara year on year (yoy)," klaim Jemmy.
Sepanjang Januari hingga Mei 2024, akumulasi pekerja sektor industri TPT yang menjadi korban PHK mencapai 10.800 orang, menurut data KSPN, yang dilakukan oleh 5 perusahaan a.l. PT Sae Apparel, PT Sinar Panca Jaya, PT Pulomas, PT Alenatex, dan PT Kusuma Grup.
"Penyebab terjadinya PHK adalah karena order turun sampai tidak ada order sama sekali, baik ekspor maupun lokal," kata Presiden KSPN Ristadi.
Sama halnya dengan Redma dan Jemmy, Ristadi juga menyebut bahwa penyebab industri TPT lokal makin sulit bertahan hingga memutuskan PHK dipengaruhi oleh gempuran produk-produk tekstil, khususnya asal China.
"Akibatnya produk tekstil dalam negeri tidak bisa laku karena kalah harga jual," tuturnya.
(prc/wdh)