Tetapi ketika dilakukan pemeriksaan terhadap barang ekspor justru ditemukan emas batangan (ingot), alias tidak sesuai dokumen PEB. Untuk diketahui, dokumen PEB seharusnya ada Persetujuan Ekspor dari Kementerian Perdagangan (Kemendag).
"Ditemukan bahwa dalam setiap kemasan disisipkan emas bentuk gelang dalam jumlah kecil untuk mengelabui x-ray. Seolah yg akan diekspor adalah perhiasan. Sehingga, dilakukan penegahan dan penyegelan barang dalam rangka penyelidikan lebih lanjut," jelasnya.
Ia kemudian menjelaskan pada 2015, PT. Q pernah mengajukan permohonan SKB (pembebasan) PPh Pasal 22 Impor (DPP senilai Rp7 triliun).
Namun ditolak Ditjen Pajak karena wajib pajak (WP) tidak dapat memberikan data yang menunjukkan atas impor tersebut menghasilkan emas perhiasan tujuan ekspor.
"Jadi ini memang modus PT Q mengaku sebagai produsen Gold Jewelry tujuan ekspor untuk mendapat fasilitas tidak dipungut PPh Pasal 22 impor emas batangan yang seharusnya 2,5% dari nilai impor (PMK No.107/PMK.010/2015 pasal 3)," kata Prastowo.
"Sehingga jelas kenapa kegiatan ekspor disebut dalam klarifikasi kami. Karena ekspor-lah yg menjadi indikasi awal adanya tindak pidana di bidang kepabeanan oleh PT Q dan tentu penyidikan yang dilakukan menyeluruh hingga tahapan impor," imbuhnya.
Setelah dinyatakan penyidikan sudah lengkap atau P21, PT Q terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan. Namun, perkara tersebut tidak dinyatakan sebagai tindak pidana.
Prastowo mengatakan DJBC kemudian mengajukan kasasi dan PT Q terbukti bersalah melakukan tindak pidana. Namun, PT Q mengajukan peninjauan kembali (PK) yang menyatakan PT Q terbukti melakukan perbuatan didakwakan tetapi bukan tindak pidana.
Sejalan dengan penanganan PT Q tersebut, Kementerian Keuangan dan PPATK bersinergi dengan pemeriksaan atas entitas PT Q oleh PPATK dan penelitian administrasi kepabeanan oleh DJBC serta penelitian administrasi perpajakan oleh DJP. Setelah itu dilakukan penyelidikan dugaan TPPU.
Berdasarkan case PT Q serta ditemukannya kesamaan modus, PPATK menyampaikan SR-205/PR.01/V/2020 kepada DJBC berisi IHP atas grup perusahaan yang bergerak di bidang emas dengan total nilai transaksi keuangan (keluar-masuk) sebesar Rp189,7 triliun.
DJBC kemudian menindaklanjuti SR tersebut, salah satunya dengan analisis kepabeanan (ekspor-impor) dan disimpulkan belum ditemukan adanya indikasi pelanggaran pidana di Bidang Kepabeanan.
"Mempertimbangkan tidak adanya unsur pidana kepabeanan & telah dilakukan penyidikan, divonis, namun kalah di tingkat Peninjauan Kembali (PK), maka dilakukan optimalisasi melalui tindak lanjut aspek perpajakan melalui surat PPATK nomor SR-595/PR.01/X/2020 yg disampaikan ke DJP," lanjut Prastowo.
Data SR tersebut kemudian dimanfaatkan DJP untuk pemeriksaan bukti permulaan terhadap PT. Q, sehingga WP melakukan Pengungkapan Ketidakbenaran dan diperoleh pembayaran sebesar Rp1,25 miliar serta berhasil mencegah restitusi LB SPT Tahunan 2016 yang sebelumnya diajukan oleh PT. Q sebesar Rp1,58 miliar.
"Sehingga menjadi jelas bahwa Kemenkeu tidak mendiamkan apalagi menutup-nutupi data PPATK ke Bu Menteri. Semua dapat dijabarkan dengan akuntabel, transparan, bahkan digunakan untuk optimalisasi penerimaan. Termasuk mengenai impor akan kami bahas tuntas," pungkas Prastowo.
(evs/frg)