Sebuah pernyataan yang menuai tanya menilik besarnya bahaya di balik pelemahan nilai tukar yang berlarut-larut, seperti yang terjadi pada rupiah saat ini.
Indonesia memiliki cerita buruk terkait nilai tukar. Ingatan publik tentu masih kuat tentang krisis moneter 1997 yang dipicu oleh kejatuhan rupiah dari Rp2.500/US$ ke Rp16.800/US$ kala itu. Kini dengan pelemahan yang terus terjadi telah mengantarkan posisi Rp16.000/US$ menjadi kenormalan baru, ekspektasi masyarakat terhadap kondisi perekonomian ke depan ikut terpengaruh.
Rupiah yang lemah efeknya tidak kecil pada perekonomian. Bagi rumah tangga di pelosok, misalnya, rupiah yang nilainya kian tak berharga, dapat mempengaruhi harga barang-barang di dapur menjadi lebih mahal. Harga beras, yang sebagian adalah impor, bisa kian mahal. Tanpa tambahan pendapatan, daya beli akhirnya terpukul akibat tekanan harga barang.
Berikut dampak pelemahan nilai tukar rupiah yang perlu diwaspadai dan dampaknya bisa langsung ke dapur rumah tangga masyarakat di Indonesia:
Inflasi Harga Barang Impor
Indonesia belum sepenuhnya mandiri dalam mencukupi kebutuhan dalam negeri. Berbagai barang konsumsi yang biasa dibutuhkan masyarakat, mulai beras, bawang putih, kedelai sampai aksesori perlengkapan dapur, banyak datang dari luar negeri alias impor.
Bahkan, bukan hanya barang jadi atau barang konsumsi saja yang sebagian merupakan impor. Beberapa bahan baku produk yang dijual di pasar domestik, sebagian juga adalah barang impor. Alhasil, ketika nilai rupiah semakin lemah, otomatis barang-barang impor tersebut apakah yang termasuk barang konsumsi, ataupun bahan mentah dan bahan baku, menjadi lebih mahal harganya.
Akibat lanjutan, harga jual ke konsumen akan terpengaruh menjadi lebih mahal. Terjadilah yang dinamakan imported inflation atau inflasi yang dipicu oleh lonjakan harga barang impor/aktivitas importasi barang.
Ini yang terjadi ketika harga beras di pasar dunia melesat tinggi di kala nilai rupiah juga lemah. Harga beras menjulang tak terbendung di semua jenis beras. Pengeluaran rumah tangga jadi lebih besar karena lonjakan harga barang kebutuhan pokok tersebut.
Daya Beli Susut
Kenaikan harga barang dan jasa yang terpengaruh nilai tukar, apabila tidak diimbangi oleh kenaikan pendapatan konsumen, yang terjadi adalah tekanan daya beli.
Harga barang dan jasa yang mengalami inflasi, apabila termasuk kelompok barang sekunder atau tersier, mungkin akan membuat masyarakat mengurangi belanja atau menundanya. Sementara bila yang terpengaruh adalah kelompok barang primer di mana masyarakat mau tidak mau harus membeli, pengeluaran menjadi lebih besar. Alokasi pendapatan untuk kebutuhan lain menjadi mengecil.
Bunga Pinjaman Naik
Ketika nilai rupiah yang lesu memantik lonjakan imported inflation dan mempengaruhi inflasi umum (Indeks Harga Konsumen), bank sentral harus maju untuk melakukan pengendalian agar kenaikan inflasi tidak ekstrem yang bisa menjatuhkan perekonomian.
Untuk mengendalikan inflasi, bank sentral harus mengerek bunga acuan alias BI rate. Ini yang dilakukan oleh Bank Indonesia pada Agustus 2022 silam. Rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi imbas perang Ukraina, telah menaikkan ekspektasi inflasi. BI menaikkan bunga acuan pertama kali setelah sekian lama pada Agustus dan pada bulan berikutnya pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM bersubsidi.
Kenaikan BI rate berdampak pada bunga perbankan. Bunga acuan yang lebih tinggi membuat tingkat bunga di pasar uang antarbank, tempat di mana bank mencari pinjaman di antara sesama bank, ikut terkerek. Bank pun mencari pendanaan dari masyarakat dengan menawarkan bunga simpanan lebih tinggi agar likuiditasnya memadai untuk memutar roda bisnis.
Efek lanjutannya, bunga pinjaman akan ikut terkerek naik karena bank secara alamiah akan berupaya menjaga tingkat margin keuntungan bisnis mereka. Selain juga karena penghitungan akan risiko kredit yang meningkat.
Ekspansi Usaha Tertahan
Bunga pinjaman atau bunga kredit yang lebih tinggi akan menahan ekspansi pelaku usaha. Korporasi yang membutuhkan modal untuk ekspansi dan biasanya mengandalkan kredit dari perbankan, memilih menahan diri.
Perusahaan akan semakin banyak mengandalkan dana sendiri atau laba ditahan mereka untuk operasional. Sementara untuk pembiayaan ekspansi, pelaku usaha akan lebih selektif berhitung.
Ekspansi dunia usaha yang tertahan akan mempengaruhi pula kebijakan perusahaan dalam rekrutmen tenaga kerja. Imbas lanjutan, lapangan kerja jadi sempit karena perusahaan cenderung menahan ekspansi.
Bahkan dalam situasi lebih sulit, perusahaan akan melakukan efisiensi agar tetap bisa menanggung beban utang yang naik akibat kenaikan bunga kredit. Salah satunya bisa jadi melalui pengurangan tenaga kerja alias melakukan PHK.
Beban APBN Naik
Dalam penghitungan risiko fiskal APBN, pemerintah memiliki berbagai skenario pemburukan yang dapat berdampak pada stabilitas anggaran negara.
Untuk APBN 2024, sebagai contoh, setiap pelemahan rupiah sebesar Rp100/US$, defisit APBN akan bertambah sekitar Rp6,2 triliun. Sementara asumsi makro APBN 2024 menetapkan nilai tukar rupiah sebesar Rp15.000/US$.
Alhasil, dengan kini rupiah sudah melemah ke Rp16.300/US$, atau terjadi pelemahan sebesar Rp1.300/US$ dari asumsi makro, maka defisit APBN sudah membengkak 13 kali lipat bertambah Rp80,6 triliun.
Defisit yang terus membengkak ketika penerimaan negara melemah menjadi alarm berbahaya. Ini karena anggaran negara juga menanggung beban utang berikut bunga yang sangat besar. Kredibilitas anggaran menjadi pertaruhan apabila defisit tidak terjaga. Defisit yang terlalu besar, dalam skenario terburuk, bisa menjatuhkan sebuah negara dalam kondisi default yakni saat negara tidak mampu membayar utang akibat kehabisan uang.
Efisiensi Subsidi
Ketika pelemahan rupiah membuat defisit anggaran negara bengkak, pengelola anggaran akan terdesak melakukan efisiensi supaya kredibilitas keuangan negara bisa ditata lagi. Salah satu cara yang biasanya ditempuh adalah dengan mengurangi pengeluaran yang sifatnya tetap dan pengeluaran yang 'kurang pro pasar bebas'.
Ini yang dilakukan pemerintah ketika krisis Covid-19 yang disusul oleh krisis rantai pasok global. Tunjangan kinerja para Aparatur Sipil Negara dipangkas. Subsidi BBM juga dikurangi sehingga harganya jadi naik. Semua karena kejatuhan nilai tukar yang berefek kemana-mana.
Perlambatan Ekonomi
Pada akhirnya, nilai tukar yang melemah akan membawa perekonomian berjalan lebih lambat. Dunia usaha menahan diri. Defisit anggaran negara melesat. Harga barang dan jasa naik mengikis daya beli masyarakat. Keterhubungan itu melahirkan situasi perlambatan di hampir semua sektor ekonomi.
Perlambatan ekonomi terus menerus akan melahirkan resesi ekonomi di mana pertumbuhan ekonomi negatif, pengangguran makin banyak. Resesi bisa berlangsung bertahun-tahun.
Dalam skenario terburuk, resesi yang tidak segera ditangani dengan baik, dapat memicu terjadinya depresi ekonomi yaitu kondisi resesi terburuk yang berlangsung jauh lebih lama serta berimbas lebih luas.
(rui/aji)