Sebagai perbandingan, pada Ramadan tahun lalu dan setelah pandemi Covid-19, inflasi Ramadan 2023 terbilang lebih rendah. Pada 2022, inflasi bulanan saat Ramadan mencapai 0,95% dan 0,68% pada 2019.
Semakin mendekati puncak musim perayaan dengan kedatangan Hari Raya Idul Fitri pada 22-23 April nanti, inflasi diprediksi akan terus melesat dengan beberapa komoditas yang potensial memimpin kenaikan harga. Yaitu, tarif tiket pesawat, daging sapi, daging ayam dan telur ayam.
Tekanan Harga Pangan
Kenaikan harga bahan pangan jelang dan saat kedatangan bulan puasa sejatinya menjadi siklus musiman. Akan tetapi, kenaikan harga beras yang sudah berlangsung sejak sebelum Ramadan memberi andil cukup besar pada inflasi bulan lalu secara bulanan maupun tahunan dengan sumbangan 0,35% year-on-year dan 0,02% month-to-month. Itupun sudah sedikit termoderasi karena panen raya yang terjadi pada Maret.
BPS mengklaim, panen raya telah mengerek turun harga beras di 29 kota di Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi. Namun, sebanyak 60 kota masih mencatat kenaikan harga beras di mana kota Palopo dan Luwuk mencatat kenaikan di atas 10%.
Dibandingkan Maret tahun lalu, rata-rata harga beras di tingkat penggilingan pada Maret 2023 mencatat kenaikan masing-masing untuk beras premium (+19,36%), beras medium yang paling banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia (+19,29%) dan di luar kualitas (+15,61%).
Nyaman di Jalur Dovish
Laju inflasi yang makin landai dan inflasi inti sudah berada di sasaran target MH Thamrin, ditambah tren penguatan nilai tukar rupiah yang terjadi belakangan ini, mungkin memberi ruang bagi bank sentral untuk memangkas bunga acuan BI7DRR lebih cepat. Langkah itu mungkin juga dibutuhkan untuk mendorong daya beli masyarakat agar bisa selekasnya kembali ke level sebelum pandemi.
Akan tetapi, menurut para ekonom, BI belum akan terburu-buru menempuh pembalikan arah bunga acuan dengan memangkas BI7DRR.
“Ketidakpastian global masih tinggi. Selain itu, Federal Reserve [bank sentral Amerika] dalam rapat FOMC bulan lalu mengindikasikan dalam outlook-nya, ruang pemangkasan bunga acuan FFR adalah pada 2024. Melihat itu, saya kira BI tidak akan terburu-buru memangkas bunga acuan,” jelas Faisal.
Selain itu, meski inflasi sudah berada dalam tren menurun tapi sebenarnya posisinya masih di atas sasaran target 2%-4%. BI dalam pernyataan terakhir menyebut, inflasi tahunan (IHK) diperkirakan akan terjangkar di kisaran target pada semester II tahun ini.
Senada, ekonom Bloomberg Economics Tamara Henderson menilai, dengan data inflasi Maret yang memperlihatkan penurunan tajam inflasi tahunan dan inflasi inti sudah berada di kisaran target, BI akan memilih untuk menahan bunga acuan di level saat ini pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) 18 April nanti.
“Inflasi inti yang sudah turun di bawah 3%, akan membantu menjangkar ekspektasi inflasi,” sebut Henderson.
Menahan bunga acuan di level saat ini juga akan menjadi langkah tepat menyusul sentimen baru harga minyak dunia menyusul keputusan OPEC+ memangkas produksi hingga 1 juta barel per hari. Harga kontrak minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Mei 2023 melesat 7,1% menjadi US$ 81,07 per barel, meski pada pukul 13:35 WIB, harganya kembali landai ke posisi US$ 79,56 per barel.
Risiko inflasi akibat harga minyak dunia perlu diwaspadai mengingat dampak terhadap harga BBM domestik juga avtur yang mempengaruhi harga tiket pesawat, juga tidak kecil. Namun, menurut ekonom, risiko harga minyak dunia itu belum perlu terlalu dikhawatirkan.
“Saya kira harga minyak dunia tidak akan kembali setinggi seperti 2022 sehingga tidak akan langsung diteruskan [pada kenaikan] harga BBM subsidi. Jadi, kami prediksi inflasi ke depan masih akan terus turun dan kembali ke kisaran 2%-4% pada paruh kedua tahun ini,” kata Faisal.
(rui)