Logo Bloomberg Technoz

Untuk diketahui, OPEC+ secara mengejutkan mengumumkan pemangkasan produksi minyak lebih dari 1 juta barel per hari atau barrel of oil per day (bopd). Manuver itu bertentangan dengan janji mereka untuk menjaga pasokan minyak dunia tetap stabil. 

Walhasil, pasokan minyak dunia diprediksi cenderung ketat menjelang akhir tahun. Kontrak berjangka (futures) minyak melonjak hingga 8% pada pembukaan perdagangan Senin (03/04/2023). Hal ini berisiko menambah tekanan inflasi di seluruh dunia dan memaksa bank-bank sentral untuk mempertahankan suku bunga tinggi.

Perkiraan harga minyak dunia (Sumber: Bloomberg)

Arab Saudi ingin mengurangi pasokan minyak 500.000 barel per hari. Negara lainnya termasuk Kuwait, Uni Emirat Arab, dan Aljazair mengikuti, sementara Rusia mengatakan pengurangan produksi yang diterapkan dari Maret hingga Juni akan berlanjut hingga akhir 2023.

Dampak awal dari pemotongan tersebut, mulai bulan depan, akan terlihat dari kurangnya pasokan minyak sekitar 1,1 juta bopd. Sementara itu, akibat adanya perpanjangan pengurangan pasokan Rusia, stok minyak mentah akan berkurang 1,6 juta bopd mulai Juli. 

Harga BBM Nonsubsidi

Di Indonesia, David menilai dampak kenaikan harga minyak dunia terhadap nominal BBM subsidi tidak akan terlalu signifikan lantaran performa rupiah masih cukup bisa diandalkan. Namun, dia melihat adanya potensi kenaikan harga BBM nonsubsidi dalam beberapa waktu ke depan.

“Belum terlalu signifikan karena rupiahnya masih kecenderungan menguat. Pengaruhnya [kenaikan harga minyak dunia] ke harga BBM [di dalam negeri] mungkin belum berubah banyak, tetapi kita lihat saja seminggu atau dua minggu ke depan. Biasanya, harga BBM yang nonsubsidi akan langsung bereaksi dan kemungkinan naik kalau [performa] rupiahnya tetap sama, tetapi harga [minyak dunia] naik terus,” jelasnya.  

Meskipun demikian, David menilai kenaikan harga BBM nonsubsidi merupakan reaksi keterkejutan pasar yang normal pascapengumuman kuota produksi minyak mentah dari OPEC+.

Potensi penguatan rupiah masih terbuka berdasarkan analisis teknikal (Divisi Riset Bloomberg Technoz)

Menurutnya, kondisi rupiah saat ini juga masih relatif baik, terutama dengan ekspektasi terhadap Federal Reserve (The Fed) yang akan kurang agresif dan tidak se-hawkish sebelumnya. “Masih tetap ada risiko ke pasar berkembang, termasuk ke aset rupiah,” tambahnya. 

Sekadar catatan, kontrak saham futures di Amerika Serikat (AS) tergelincir, dolar menguat, dan imbal hasil obligasi AS naik menyusul pengumuman penurunan produksi minyak dari OPEC+ yang mengejutkan, yang mendorong harga minyak naik 6%.

Dolar menguat terhadap sebagian besar mata uang negara G10. Hanya krone Norwegia menguat karena negara Skandinavia itu mendapat untung dari tingginya harga energi.

Imbal hasil obligasi bertenor dua tahun AS melonjak sekitar 5 basis poin menjadi 4,08% setelah sebelumnya jatuh pada Jumat menyusul perkiraan investor soal pemotongan suku bunga The Fed.

Kontrak untuk S&P 500 turun 0,2% pada hari Senin dan kontrak untuk Nasdaq 100 turun 0,6% karena sentimen positif dari hari Jumat surut. S&P 500 telah melonjak 3,5% minggu lalu, tertinggi sejak November, sementara Nasdaq 100 membukukan kenaikan kuartalan terbesar sejak Juni 2020.

Pemotongan produksi OPEC + (Sumber: Bloomberg)

Dampak ke Impor Migas 

Terkait dengan  dampak manuver OPEC+ ke  impor minyak dan gas (migas) Indonesia, David juga menilai kinerja pengapalan minyak hingga saat ini masih dalam kondisi normal. Menurutnya, peningkatan impor minyak normal terjadi menjelang Lebaran dengan kenaikan berkisar antara 10% hingga 15%.

“Tidak banyak [kenaikannya], biasanya 10%–15% lebih tinggi kalau menjelang Lebaran, tetapi tidak banyak terpengaruh [pemotongan produksi  OPEC+] karena biasanya sudah ada impor terjadwal,” ungkapnya. 

Per Februari 2023, impor migas Indonesia tercatat US$ 2,41 miliar atau turun 17,19% secara bulanan. Hal ini dipicu penurunan impor minyak mentah sebesar 45,39% secara bulanan dan penurunan hasil minyak sebesar 8,2% secara bulanan.

Sementara itu, terkait dampak harga minyak dunia terhadap inflasi, David mengaku belum bisa melakukan estimasi karena pengumumannya baru saja dilakukan satu hari lalu. Namun, dia memperkirakan tidak akan ada efek terlalu menghantam terhadap inflasi Indonesia, terutama dengan kecenderungan laju inflasi yang menurun.

“Belum tahu, baru sehari jadi belum tahu.Mungkin nanti kalau sudah seminggu dan harganya sustain. Perkiraan saya belum ada pengaruh ke inflasi. Inflasi kita masih kecenderungan menurun. Saya lihat mungkin di memasuki kuartal III sudah bisa memasuki 3%–4% sesuai target BI. Sejauh ini belum ada pengaruh dari minyak,” jelasnya.

(tar/wdh)

No more pages