Bloomberg Technoz, Jakarta - Pakar hukum tata negara, Feri Amsari mengkritik rencana Majelis Permusyawarahan Rakyat (MPR) yang tengah mendorong kembali wacana amandemen UUD 1945. Hal ini terutama berkaitan dengan isu mengembalikan kewenangan pemilihan presiden dan wakil presiden dari rakyat melalui pemilu langsung menjadi ke MPR. Menurut Feri, sistem pemilihan presiden dan wapres melalui MPR justru lebih berpotensi korup.
“MPR jauh lebih potensial dan politik untuk mempermainkan keadaan karena bisa ditentukan di sana,” kata Feri dalam keterangan di akun Youtubenya, Senin (10/6/2024).
Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas itu menyebut jika pemilihan presiden dan wapres oleh MPR maka perdebatan hingga transaksi politik hanya terjadi di kaum elit partai politik saja. Padahal, dengan pemilihan langsung oleh rakyat, capres dan cawapres dapat bernegosiasi secara langsung dengan pemegang suara atau pemilih.
Toh, menurut dia, anggota MPR nantinya juga akan mudah disogok karena ada keberpihakan dengan pasangan calon tertentu berdasarkan basis kepentingan politik, kepentingan uang, hingga kepentingan politik yang berbaur dengan uang sekaligus.
Justru pada pemilu langsung, Feri menilai, praktek penyuapan atau penyogokan menjadi lebih sulit karena harus berhadapan dengan ratusan juta pemilih. Hal ini, kata dia, nampak dalam Pilpres 2024 melalui praktek penyogokan yang membutuhkan tenaga, perangkat, dan jumlah uang besar. Kecurangan pada pemilu lalu dituduhkan telah terjadi dengan melibatkan penyelenggara negara bersama beberapa pihak yang menggunakan uang negara untuk memuluskan kepentingan politik.
“Kalau anggota MPR yang tidak bisa disogok dengan uang berarti bukan untuk memilih capres X. Tapi kalau ada yang bisa dibeli dengan uang, bisa dipastikan jumlah yang bisa disogok [misalnya] 500 [anggota MPR] maka mereka akan memenangkan pertarungan dengan sogokan itu,” tutur Feri.
Dia pun menilai, pengembalian kewenangan pemilihan presiden dan wapres kepada MPR adalah bentuk kemunduran demokrasi. Menurut dia, amandemen jangan dipakai sebagai selimut untuk mengkhianati cita-cita reformasi.
“Bagi saya usul pemilihan presiden melalui MPR adalah pengkhianatan reformasi sesungguhnya apakah dilakukan tokoh reformasi itu atau orang-orang lain. Tapi kita semua wajib melindungi hak kita, tidak boleh konstitusi diobrak abrik untuk kepentingan politik sesaat dan kepentingan tertentu,” ujar Feri.
Sebelumnya, silaturahmi kebangsaan para pimpinan MPR mendapat sorotan karena memang dikaitkan dengan upaya meloloskan amandemen UUD 1945. Isu ini menjadi polemik karena sejumlah tokoh dan partai politik dianggap berniat mengembalikan sistem pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung kembali ke tangan MPR.
Ketua MPR, Bambang Soesatyo membantah kabar tersebut dengan dalih hingga saat ini tak ada pembicaraan tentang pengembalian kewenangan pemilihan presiden dan wakil presiden. Menurut dia, lembaganya masih sekadar mengumpulkan usulan dan aspirasi.
"Kalau seluruh partai politik setuju untuk melakukan amandemen penyempurnaan dari pada Undang-Undang Dasar 1945 yang ada, termasuk penataan kembali sistem politik dan sistem demokrasi kita. Kami di MPR siap untuk melakukan amandemen,siap untuk melakukan perubahan karena kita sudah punya SOP-nya," kata Bambang.
Berdasarkan informasi yang dikumpulkan, MPR setidaknya sudah bertemu dengan tiga partai politik usai pelaksanaan Pemilu 2024 yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Nasdem, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Mereka juga telah bertemu dengan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Wakil Presiden ke-6 Try Sutrisno, Wakil Presiden ke-10 dan 12 Jusuf Kalla, dan Wakil Presiden ke-11 Boediono. Selain itu, mantan Ketua MPR Amien Rais.
(mfd/frg)