Pertama, mereka menilai bahwa beban iuran wajib kepada peserta individu pekerja 2,5% dari gaji bruto per bulan (atau 3% bagi pekerja mandiri) dirasa memberatkan, terutama karena gaji bruto pekerja sudah dipotong untuk berbagai komponen lain, seperti pajak penghasilan (PPh 21), iuran BPJS Kesehatan, dan BPJS Ketenagakerjaan.
"Sebagai ilustrasi, jika seseorang dengan kriteria: (i) karyawan tetap yang memiliki total gaji/upah kotor sebesar Rp120 juta setahun atau Rp10 juta per bulan; dan (ii) belum menikah dan tanpa tanggungan (TK/0). Maka, berdasarkan hasil simulasi perhitungan PPh 21 secara sederhana diperoleh bahwa rata-rata nilai pendapatan bersih per bulan yang ia terima sebelum dan sesudah adanya pengenaan iuran kepesertaan Tapera adalah masing-masing sebesar Rp8.690.000 dan Rp8.442.500 (berkurang Rp237.500 per bulan atau turun sebesar 2,38%)," jelasnya.
Selain itu, penambahan iuran Tapera akan semakin menurunkan daya beli masyarakat. Pemerintah juga diminta memperhitungkan perubahan aspek perilaku konsumsi dan aspek psikologis masyarakat setelah penerapan skema Tarif Efektif Rata-rata (TER) yang tertuang dalam PP Nomor 58 Tahun 2023 tentang Tarif Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi.
Kedua, Tapera dirasa tidak begitu menarik bagi pekerja. Berbeda dengan BPJS yang dirasakan manfaatnya secara merata. Sedangkan manfaat utama dari Tapera sendiri adalah KPR dengan bunga lebih rendah, akan tetapi hal ini dirasa hanya dapat dinikmati oleh kelompok tertentu dan tidak bersifat universal.
Di samping itu, pekerja yang membayar iuran Tapera tidak dapat mencairkan dana simpanan sebelum masa kepesertaan berakhir dan imbal hasil dana simpanan Tapera relatif lebih rendah dibandingkan instrumen investasi konvensional lainnya, seperti saham, reksa dana, atau obligasi.
"Tapera rencananya akan menginvestasikan dana kelolaan mereka dalam bentuk Kontrak Investasi Kolektif (KIK) yang sama seperti reksa dana, sehingga peserta Tapera akan mendapatkan unit penyertaan yang sesuai dengan potongan gajinya dibagi dengan NAB (Nilai Aktiva Bersih) per unit pada saat pencairan. Maka, imbal hasil yang didapatkan tentu akan lebih rendah dari rata-rata obligasi negara yang saat ini berkisar di 6,5% atau maksimal setara dengan imbal hasil deposito di kisaran 3,5%," terangnya.
Ketiga, terdapat kekhawatiran bahwa peserta program Tapera tidak akan mendapatkan kembali dana tabungannya secara utuh meskipun masa kepesertaan telah berakhir. Di mana hal ini berkaca pada kasus hukum yang melibatkan Asabri, Jiwasraya, dan Taspen dalam beberapa tahun terakhir telah mencederai kepercayaan publik terhadap pengelolaan dana oleh perusahaan milik pemerintah.
Terakhir, bagi pelaku usaha, kewajiban menanggung beban cost-sharing atas iuran kepesertaan program Tapera sebesar 0,5% per pekerja setiap bulan akan berimplikasi pada kenaikan biaya bisnis yang signifikan, terutama bagi perusahaan padat karya.
Oleh karena itu, menjelang diberlakukannya program tersebut, mereka meminta pemerintah seharusnya menjelaskan secara transparan mengenai urgensi dan tujuan utama di balik pelaksanaan program Tapera, baik secara substansi maupun teknis.
Secara substansi, seberapa besar efektivitas program Tapera dapat mengatasi persoalan angka persentase backlog perumahan nasional dibandingkan dengan kebijakan sektor perumahan lainnya yang berorientasi baik pada sisi penawaran maupun sisi permintaan.
Secara teknis, pemerintah juga perlu menjelaskan apa yang menjadi dasar penetapan total potongan iuran kepesertaan Tapera sebesar 3% dengan mekanisme cost-sharing (gotong royong).
Terlebih dari perspektif ekonomi keuangan publik, pengenaan iuran Tapera cenderung lebih mendekati konsep pengenaan pajak dibandingkan dengan konsep tabungan. Yang mana pada dasarnya, menyediakan rumah layak bagi masyarakat menengah bawah adalah kewajiban pemerintah, bukan kewajiban pekerja secara umum sesuai dengan amanat UUD 1945 Amandemen Pasal 28H.
"Pemerintah juga perlu mempertanggungjawabkan efektivitas penggunaan dana APBN sejak tahun 2015 untuk membiayai program penyediaan hunian bagi MBR, terutama Program 1 Juta Rumah termasuk Pembangunan Rumah Tapak Murah atau Bersubsidi, Rusunami, dan Rusunawa," tuturnya.
"Menghabiskan anggaran subsidi puluhan triliun rupiah per tahun, masyarakat tentu berhak mendapatkan hasil evaluasi dampak yang kredibel atas Program 1 Juta Rumah tersebut," tegasnya.
(prc/ros)