Sebelumnya, kejaksaan menerima laporan analisis dari Tim Terpadu yang terdiri dari LPEI, Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun), dan Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan. Mereka menemukan empat perusahaan penerima kredit atau debitur melakukan dugaan tindak pidana korupsi senilai Rp2,5 triliun.
Empat perusahaan tersebut bergerak pada bidang ekspor kelapa sawit, batu bara, nikel, dan usaha perkapalan. Secara lebih detil, perusahaan berinisial RII diduga telah melakukan korupsi dengan nilai Rp1,8 triliun; SMS sebesar Rp216 miliar; SPV sebesar Rp144 miliar; dan PRS sebesar Rp305 miliar.
Selain itu, Korps Adhyaksa juga berpotensi akan memeriksa enam debitur LPEI lainnya. Hal ini terjadi jika para debitur tak bisa menjalankan rekomendasi dan kesepakatan dengan tim terpadu soal penuntaskan kredit bermasalah. Total kerugian negara dari enam perusahaan baru ini menembus Rp3 triliun.
KPK Cegah 4 Nama di Kasus LPEI
Lebih maju dari kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memulai proses penyidikan kasus dugaan fraud LPEI. Dalam kasus ini, KPK tengah mengusut kasus kredit bermasalah pada tiga perusahaan debitur yaitu PT PE, PT RII, dan PT SMYL. Total kredit Eximbank Indonesia pada perusahaan-perusahaan tersebut mencapai Rp3,4 triliun.
Penyidik KPK telah mengajukan empat nama kepada Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM. Lembaga antirasuah tersebut meminta empat orang yang berstatus penyelenggara negara dan pengusaha swasta dilarang bepergian ke luar negeri, 21 Mei lalu.
Kepala Bagian Pemberitaan KPK, Ali Fikri pun telah memberikan peringatan agar empat orang yang dicegah tersebut untuk bersikap kooperatif. Terutama memenuhi tujuan pencegahan yaitu bisa memenuhi panggilan pemeriksaan di KPK.
"Agar tetap berada di wilayah Indonesia selama enam bulan ke depan," kata Ali Fikri.
(mfd/frg)