Maka itu, langkah ECB menjadi cukup monumental kendati dalam pernyataan pengumuman kebijakan tadi malam, Gubernur ECB Christine Lagarde tidak memberi isyarat akan ada penurunan lebih lanjut ke depan. Yang pasti, keputusan itu tidak terlalu mengejutkan pasar menilik situasi di Eropa yang mengalami stagnasi dan resesi ringan dua tahun terakhir.
Sementara Amerika, sejauh ini mulai memperlihatkan disinflasi lagi setelah selama kuartal satu lalu tekanan harga kembali melonjak. Data ketenagakerjaan nanti malam akan sangat menentukan setelah Kamis kemarin indikator rekrutmen tenaga kerja Challenger sepanjang tahun ini hingga Mei tercatat turun 50% dibanding periode yang sama tahun lalu. Bila angka pengangguran makin besar dan rekrutmen anjlok, peluang bagi The Fed melonggarkan moneter akan semakin besar.
Gubernur BI Perry Warjiyo dalam pernyataan terakhir kala mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur bulan lalu, menjelaskan stance bank sentral. Hasil asesmen BI terakhir, The Fed diprediksi akan menurunkan bunga acuan satu kali tahun ini sebesar 25 bps. Kenaikan BI rate 25 bps April lalu menjadi langkah mitigasi potential risk apabila The Fed menahan bunga di level tinggi lebih lama.
Dari penjelasan itu, ada sinyal bahwa BI kemungkinan masih akan bertahan membiarkan bunga di 6,25% bahkan ketika The Fed memangkas bunga 25 bps. BI kemungkinan baru akan benar-benar percaya diri memulai penurunan bunga acuan bila sinyal pelonggaran moneter di lanskap global bisa bertahan lama. Pasalnya, tanpa kepastian bahwa tren penurunan bunga dimulai, rupiah masih akan menghadapi risiko guncangan sewaktu-waktu.
Bahkan dengan kini BI rate sudah di 6,25% dan bunga instrumen operasi moneter BI, yaitu Sertifikat Rupiah BI (SRBI) dikerek tinggi dan sempat menyentuh 7,54%, rupiah masih kedodoran menghadapi tren kenaikan permintaan dolar AS di pasar. Pada perdagangan Rabu lalu, rupiah ambles ke level terendah sejak 2020 di kala tren global memberi angin pada mata uang emerging market.
Itu menjadi gambaran sensitivitas rupiah yang begitu tinggi. Peluang penurunan bunga BI rate kemungkinan baru akan terbuka bila prediksi pasar bahwa Fed fund rate bisa turun dua kali tahun ini terealisasi.
"Saat ini [melihat data-data], indikasinya lebih baik artinya sekarang pun terkonfrmasi bahwa FFR akan lebih besar ke skenario baseline yaitu turun satu kali tahun ini. Itu mengonfirmasi kenaikan BI rate sekali sebesar 25 bps pada bulan lalu [April] kami rasa sudah cukup untuk terus menarik aliran modal asing dan cukup untuk membuat rupiah stabil dan menguat dan memastikan inflasi tetap dalam sasaran," jelas Perry kala itu.
Sementara dalam pernyataan terbaru di gedung parlemen pekan ini, Perry kembali lagi menegaskan sikap bank sentral yang siap menempuh berbagai effort untuk memastikan rupiah stabil. Kebijakan kenaikan BI rate sejak 2022 lalu diyakini oleh pasar lebih didorong kebutuhan untuk membantu rupiah ketimbang pengendalian inflasi.
Cadangan devisa
BI melaporkan pada hari ini, posisi cadangan devisa pada Mei naik sebesar US$2,8 miliar setelah empat bulan berturut-turut longsor senilai lebih dari US$10 miliar akibat terkuras kebutuhan mengintervensi pelemahan rupiah.
Kenaikan cadev itu kabar baik bagi rupiah yang kuartal ini menghadapi tekanan pelemahan secara historis karena musim kenaikan permintaan dolar AS di pasar.
Akan tetapi, penting untuk dicatat bahwa kenaikan cadev itu lebih karena penarikan global bond pemerintah. Bulan lalu, pemerintah menerbitkan Samurai bond senilai Rp20-an triliun.
Dengan tren ekspor yang memasuki masa surut, terlebih melihat tren kejatuhan harga minyak yang berlanjut, sulit berharap suntikan devisa lebih besar ke depan dari aktivitas perdagangan.
Alhasil, rupiah yang rentan masih membutuhkan sokongan devisa memadai sampai setidaknya ada kejelasan tak terbantahkan di hari ketika The Fed benar-benar memangkas bunga acuan.
Di sisi lain, BI juga terlihat tidak terdesak melonggarkan moneter meski inflasi telah melandai sampai Mei lalu. Itu karena dari sisi perbankan, BI masih terus mengucurkan stimulus melalui kebijakan insentif likuiditas makroprudensial (KLM) yang kini jangkauannya diperluas.
Yaitu, sektor penunjang hilirisasi, konstruksi, real estate produktif, ekonomi kreatif, otomotif, perdagangan, listrik-gas-air bersih (LGA), dan jasa sosial. Stimulus diberikan berupa pengurangan pemenuhan kewajiban Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 4%. Dengan demikian, GWM yang perlu dipenuhi hanya sebesar 5%.
Eksperimen itu cukup berhasil dengan kredit perbankan masih tumbuh 13,09% pada bulan lalu bahkan ketika BI rate dipatok tinggi di 6,25%.
(rui)