Bloomberg Technoz, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa uang pemerintah yang akan jatuh tempo pada 2025 sebesar Rp788,64 triliun tidak menjadi masalah.
Sri Mulyani mengatakan tak jadi masalah selama Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), perekonomian, dan iklim politik Indonesia tidak mengalami guncangan.
Hal itu, ia sampaikan saat memberi penjelasan kepada Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI saat ditanya mengenai utang pemerintah yang jatuh tempo pada 2025 mencapai Rp788,64 triliun. Ia mengatakan para pelaku pasar menjadikan tiga faktor tersebut sebagai landasan untuk menentukan tingkat risiko pada investasi yang dilakukannya pada Surat Berharga Negara (SBN).
Sehingga, lanjut Sri Mulyani, saat utang tersebut memasuki masa jatuh tempo maka surat utang tersebut akan revolving atau berkembang dan para pemegang SBN RI tidak akan melepas surat utang tersebut.
“Karena market beranggapan oh negara ini akan tetap sama, sehingga jatuh temponya seperti 2025, 2026, 2027 yang kelihatannya tinggi itu tidak jadi masalah," ujar Sri Mulyani dalam rapat dengan Komisi XI DPR RI, Kamis (6/6/2024).
Bendahara Negara mengatakan tingginya utang yang jatuh tempo pada 2025-2027 sangat dipengaruhi pada masa pandemi Covid-19. Pasalnya saat itu pemerintah harus menambahkan Rp1.000 triliun untuk belanja tambahan.
Padahal, lanjut Sri Mulyani, penerimaan negara turun hingga 19% karena perekonomian sempat mati suri akibat pembatasan yang dilakukan, yang pada akhirnya menyebabkan defisit anggaran pada tahun 2020 melonjak menjadi 6,34% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Dengan begitu, kala itu pemerintah menyetujui kebijakan burden sharing untuk menutup defisit APBN. Adapun, burden sharing merupakan kebijakan yang dilakukan BI untuk mencetak uang dengan membeli Surat Utang Negara (SUN) yang diterbitkan pemerintah, di mana uang utang itu digunakan pemerintah untuk membiayai APBN agar perekonomian tetap hidup.
Ia mengungkap, SUN tersebut karena diterbitkan pada 2020 maka maksimum jatuh temponya rata-rata berada di kisaran 7 tahun, yakni pada tahun 2027. Namun, beberapa diantaranya sudah mulai jatuh tempo pada 2025.
“Inilah yang kemudian menimbulkan persepsi banyak sekali utang menumpuk, karena itu adalah biaya pandemi yang kami mayoritas kami gunakan surat utangnya berdasarkan agreement [kesepakatan] waktu itu,” ungkap Sri Mulyani.
Pada awalnya, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi PDIP Dolfie OTP mempertanyakan kepada pemerintah terkait besarnya utang yang jatuh tempo pada 2025. Hal itu, ia pertanyakan saat pemerintah dan DPR sedang memutuskan besaran yield atau imbal hasil SBN untuk tahun 2025.
"Apakah ini seluruhnya diserap di APBN 2025? Atau enggak? Kalau diserapkan berarti APBN yang Rp 3.500 triliun itu untuk bayar utang saja sudah Rp 782 triliun," tanya Dolfie kepada pemerintah.
Sebagai informasi, sebelumnya Sri Mulyani mengatakan pemerintah akan menjaga rasio utang pada batas yang aman. Pada saat yang sama, pemerintah juga akan memaksimalkan berbagai instrumen fiskal demi menciptakan inovasi pembiayaan.
Pemerintah mematok defisit dalam APBN 2025 sebesar 2,45%-2,82%. Menurut dia, rentang defisit ini telah mempertimbangkan program prioritas pemerintahan baru yang akan dipimpin Presiden Terpilih Prabowo Subianto.
Ia mengatakan bahwa APBN 2025 dirancang ekspansif, tapi tetap terarah dan terukur. Dalam hal ini, pemerintah akan menjaga rasio utang dengan tetap memperhatikan unsur kehati-hatian.
“Pembiayaan akan dijaga dan dikelola melalui pembiayaan inovatif, prudent (aman), dan sustainable (berkelanjutan) melalui berbagai manajemen utang Indonesia yang terus di benchmark (acuan) secara global agar menciptakan kepercayaan dan transparansi,” ucap Sri Mulyani dalam rapat paripurna DPR RI, Selasa (4/6/2024).
(azr/ain)