"Narasi itu menyesatkan dan hanya mengalihkan fakta bahwa pemerintah butuh kenaikan permintaan obligasi (peningkatan utang) untuk memfasilitasi belanja yang lebih tinggi pada 2024-2029," kata Alvin Baramuli, dikutip Kamis (6/6/2024).
"Argumen yang menentang narasi [pemerintah] itu adalah, iya pemerintah menggunakan dana Tapera untuk memfasilitasi KPR. Tapi, jika ini alasan utamanya, mengapa mayoritas dana yang dikelola Tapera itu justru dialokasikan untuk investasi atau membeli obligasi pemerintah, bukan untuk perumahan?"
Algoresearch Alvin Baramuli
"Argumen yang menentang narasi [pemerintah] itu adalah, iya pemerintah menggunakan dana Tapera untuk memfasilitasi KPR (kredit pemilikan rumah). Tapi, jika ini alasan utamanya, mengapa mayoritas dana yang dikelola Tapera itu justru dialokasikan untuk investasi atau membeli obligasi pemerintah, bukan untuk perumahan?"
Alvin Baramuli mendasari argumennya itu dari alokasi portofolio BP Tapera jelang akhir 2023. Sebesar 54% dana kelolaan dialokasikan untuk investasi, 10% untuk cadangan, dan hanya 36% untuk memfasilitasi KPR.
Alokasi untuk investasi naik dari sebelumnya 37%. Sedang alokasi untuk KPR justru turun dari sebelumnya 50%.
Jika dielaborasi lebih lanjut, dari alokasi 54% untuk investasi tersebut, sebesar 65%-nya digunakan untuk membeli obligasi pemerintah dan 35% untuk obligasi korporasi hingga instrumen pendapatan tetap lainnya.
"Tidak menutup kemungkinan, sebagian besar dana yang dikelola [Tapera] digunakan utnuk membeli obligasi pemerintah, yang selanjutnya dana hasil penjualan ini dapat digunakan untuk keperluan lain seperti bantuan sosial (Bansos), IKN (Ibu Kota Nusantara), atau bahkan program makan siang gratis," jelas Alvin.
Tidak Menguntungkan
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, ada narasi jika Tapera secara tidak langsung merupakan instrumen investasi untuk masyarakat menengah ke atas.
Menurut Alvin, return 4% hingga 5% per tahun dari Tapera terbilang kecil. Pasalnya, masyarakat kelas pekerja bisa mendapat return lebih tinggi, sekitar 7% jika berinvestasi langsung di obligasi pemerintah.
Atau, return lebih tinggi bisa didapat dari investasi di saham BBCA dan BBRI, yang memiliki CAGR masing-masing 17% dan 7% selama 10 tahun terakhir, tidak termasuk dividen.
"Return 4%-5% per tahun sangatlah minim. Jika disesuaikan dengan inflasi bahkan returnnya hanya setara 1%-2%. Masih Banyak alternatif investasi lain bagi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan, dan pastinya Tapera bukanlah pilihan terbaik," terang Alvin.
Sektor yang Diuntungkan
Meski menuai kontroversi, Alvin menilai sejumlah sektor akan diuntungkan jika program Tapera bisa dieksekusi dengan baik.
"Sektor perbankan, semen dan properti yang paling diuntungkan. Namun, masih terlalu dini untuk dikatakan dan masih memiliki risiko yang besar saat [Tapera] diimplementasikan."
Investment Analyst Lead Stockbit Rahmanto Tyas Raharja menuturkan, berdasarkan pertemuannya dengan manajemen PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN), program KPR skema subsidi selisih bunga (SKB) dan Tapera dapat memberikan efek profitabilitas dan margin bunga bersih yang lebih baik dibanding skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang berlaku saat ini.
Rahmanto juga tidak menampik optimistis tersebut. Pasalnya, skema SSB dapat meningkatkan loan yield (imbal hasil pinjaman) yang didapat BBTN dalam menyalurkan KPR subsidi.
Kemudian, Skema SSB baru juga dapat meningkatkan volume kredit KPR subsidi yang dapat disalurkan oleh BBTN.
"Risiko datang dari kemampuan BBTN untuk mengumpulkan dana pihak ketiga (DPK) yang dibutuhkan untuk menyalurkan kredit, dan juga Cost of Fund dari DPK tersebut. Hal ini akan menentukan keberhasilan BBTN dalam meningkatkan penyaluran volume kredit KPR dan juga NIM," jelas Rahmanto.
(red)