Dampak Negatif
Lebih lanjut, Bisman menilai dampak negatif pemberian relaksasi tersebut adalah preseden buruk atas penyimpangan hukum terkait dengan inkonsistensi pemerintah dalam menjalankan undang-undang tentang peningkatan nilai tambah mineral.
Dengan demikian, proses penghiliran tembaga menjadi makin tertunda, yang artinya efek ekonomi akibat penghiliran tersebut juga menjadi tidak tercapai.
Untuk diketahui, ini bukan pertama kalinya Freeport mendapatkan relaksasi ekspor konsentrat tembaga. Tahun lalu, pemerintah terpaksa menunda tenggat pelarangan ekspor berbagai mineral mentah atau setengah diproses, termasuk konsentrat tembaga, yang sedianya dijadwalkan pada Juni 2023.
Alasannya, proyek smelter katoda tembaga Freeport di Manyar, Gresik, Jawa Timur masih belum siap akibat progresnya tertunda selama pandemi Covid-19. Walhasil, perseroan mengaku akan merugi dan bahkan berisiko melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal jika dilarang ekspor konsentrat pada saat smelter baru tersebut belum siap menyerap produksi konsentrat tembaga PTFI.
Pada akhirnya, relaksasi ekspor pun diberikan oleh pemerintah sampai dengan Mei 2024, dengan catatan progres pembangunan smelter harus sudah lebih dari 50%. Bersamaan dengan itu, pemerintah pun menaikkan besaran bea keluar untuk konsentrat tembaga secara progresif berdasarkan fase progres pembangunan smelter.
Kendati demikian, Bisman menggarisbawahi pemerintah berada dalam posisi yang dilematis mengenai relaksasi ini.
Setoran ke RI
Freeport sendiri sebelumnya memproyeksikan setoran ke kas negara pada 2024 sanggup mencapai US$5,6 miliar (sekitar Rp90,85 triliun), setelah pemerintah mengizinkan konsentrat tembaga untuk terus diekspor hingga Desember.
Wakil Presiden Direktur Freeport Indonesia Jenpino Ngabdi mengatakan, jika PTFI tidak memperoleh perpanjangan ekspor konsentrat tembaga selepas Mei, kemungkinan setoran Freeport ke RI hanya akan mencapai US$2,9 miliar tahun ini.
Jenpino menjelaskan penerimaan negara dari Freeport pada 2023 mencapai US$2,7 miliar dalam bentuk pajak, dividen, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Dia menyebut jumlah tersebut relatif kecil dibandingkan dengan tahun sebelumnya lantarann dividen yang diterima PT Mineral Industri Indonesia (MIND ID) —holding BUMN pertambangan pemilik 51% saham PTFI— menurun.
“Penurunan tersebut dipicu terbitnya peraturan devisa hasil ekspor [DHE] yang mengharuskan 30% dari hasil ekspor ditempatkan selama 3 bulan di bank dalam negeri,” ujarnya di sela rapat bersama Komisi VI DPR RI, Senin (3/6/2024).
“Dan juga adanya bea keluar yang dikenakan untuk ekspor konsentrat Freeport untku Juli—Desember 2023,” lanjutnya.
Pada kesempatan yang sama, dia juga mengatakan pendapatan perusahaan sanggup menyentuh US$11,5 miliar (sekitar Rp186,56 triliun) pada 2024, setelah pemerintah memberikan relaksasi ekspor konsentrat tembaga.
Jenpino melaporkan, pada 2023, pendapatan PTFI mencapai US$9,3 miliar. Tahun ini, perusahaan memproyeksikan pendapatan akan anjlok menjadi US$7,4 miliar jika pemerintah tidak memperpanjang izin ekspor konsentrat tembaga selepas Mei.
“Namun, apabila kami diberikan izin ekspor, pendapatan akan mencapai US$11,5 miliar pada tahun ini,” ujarnya.
Demikian halnya dengan laba bersih, yang ditaksir mencapai US$4,2 miliar pada 2024 dengan skenario relaksasi ekspor dan US$2,2 miliar jika tidak ada perpanjangan izin ekspor konsentrat tembaga. Sepanjang 2023, Freeport mencatat laba US$3,2 miliar.
“Dari sisi EBITDA, pada 2023 kami mencapai US$5,8 miliar. Proyeksi 2024, EBITDA ini diperkirakan US$4,4 miliar jika tanpa izin ekspor dan apabila dengan izin ekspor akan mencapai US$7,6 miliar,” kata Jenpino.
(dov/wdh)