Logo Bloomberg Technoz

Pemodal terlihat mengalihkan dana ke instrumen tenor pendek dengan imbalan tinggi seperti Sekuritas Rupiah BI (SRBI) yang dalam lelang terakhir kemarin mencatat kenaikan permintaan hingga Rp60,69 triliun, naik dua kali lipat dibanding lelang sebelumnya. BI memutuskan menyerap Rp23 triliun, lebih rendah dibanding lelang SRBI sebelumnya, dengan imbalan 7,42% untuk tenor 12 bulan.

Tingkat imbalan itu sedikit turun dibanding lelang sebelumnya di 7,44%. Sementara dalam lelang sukuk negara (SBSN) kemarin, terlihat minat investor juga kuat di tenor pendek seri SPN dengan nilai permintaan mencapai Rp6 triliun untuk dua seri. 

Arus keluar masuk hot money jadi rentan menyeret rupiah di tengah puncak permintaan dolar AS di pasar bulan-bulan ini. Mengacu pada pola historis, kuartal dua setiap tahun kebutuhan valas korporasi maupun individu memuncak. 

Korporasi terus berburu dolar AS untuk kebutuhan pembayaran dividen pada investor asing, ditambah permintaan musiman valas oleh calon jamaah haji seiring kedatangan musim pemberangkatan haji. Itu menambah panjang antrian permintaan dolar AS yang sudah lebih dulu disesaki oleh kebutuhan valas dua BUMN yaitu Pertamina dan PLN, dikombinasikan juga dengan kebutuhan valas untuk pembayaran utang luar negeri. 

Bank Indonesia. (Rosa Panggabean/Bloomberg)

Dalam pernyataan terakhir di parlemen Rabu lalu, Gubernur BI Perry Warjiyo, menyatakan bahwa bank sentral akan melanjutkan berbagai upaya agar stabilitas rupiah terjaga dan menahan arus keluar modal asing. Keputusan menaikkan bunga acuan ke 6,25%, menurut Perry, telah berhasil menarik arus modal asing masuk seiring dengan kenaikan imbal hasil surat berharga negara (SBN).

Sementara sebelumnya, Perry menilai kenaikan BI rate April lalu sudah cukup dalam mengantisipasi potential risk berupa tertahannya tingkat bunga The Fed lebih lama. BI memperkirakan, bunga acuan Amerika (FFR) akan turun satu kali tahun ini. Dengan kata lain, selama tidak ada sinyal bahwa Fed fund rate batal turun, BI melihat level 6,25% dan bunga SRBI mendekati 7,5% sudah memadai untuk menarik modal asing masuk.

Pasar masih akan menunggu rilis data tenaga kerja nanti malam untuk mengonfirmasi optimisme penurunan bunga FFR tahun ini. Beberapa data terakhir menunjukkan, perekonomian AS masih memperlihatkan sinyal penguatan meski pada saat yang sama rekrutmen tenaga kerja melemah. Ekspektasi pasar kini memperkirakan akan ada dua kali penurunan FFR tahun ini. Bila terpenuhi, hal itu bisa menjadi sentimen positif bagi rupiah.

Sebaliknya, bila peluang penurunan FFR mengempis, rupiah bisa semakin terseret melemah mendekati level psikologis baru yang berbahaya bagi perekonomian.

Sentimen Regional

Rupiah bukan hanya menghadapi tekanan sentimen global yang berpusat pada arah kebijakan bunga acuan AS. Pada saat yang sama, Indonesia juga bersaing dengan pasar negara berkembang lain yang menjadi incaran asing yakni India.

India yang baru saja menggelar pemilu dan hasil sementara menunjukkan Narendra Modi kembali menjabat sebagai Perdana Menteri, bisa menjadi daya tarik modal asing global yang mencari cuan tinggi. Sejauh ini, selisih imbal hasil India dengan AS lebih menarik dibanding Indonesia versus Amerika. 

Yield spread India dengan Negeri Paman Sam berjarak 273 bps, sedangkan selisih imbal hasil Indonesia dengan AS hanya 258 bps.

Rupiah juga perlu mewaspadai limpahan efek negatif dari kawasan ASEAN. Tensi politik di kawasan ASEAN mungkin akan terimbas situasi di Thailand di mana posisi Perdana Menteri Srettha Thavisin tengah terancam petisi para senator, di tengah pertikaian bank sentral Thailand dengan pemerintahnya. 

Defisit Fiskal

Daya tarik aset rupiah juga masih dibayangi oleh kekhawatiran akan defisit fiskal di tengah penurunan penerimaan negara serta kebutuhan belanja yang besar.

Menkeu, Sri Mulyani berbincang sebelum sidang PPHU Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi, Jumat (5/4/2024). (Bloomberg Technoz/Andrean Kristianto)

Pelemahan rupiah lebih lanjut bisa mengancam anggaran negara akibat pembengkakan defisit APBN. Setiap rupiah melemah Rp100/US$, nilai pengeluaran pemerintah pusat naik Rp10,1 triliun. Sedangkan pendapatan negara hanya bertambah Rp4 triliun.

Alhasil, setiap pelemahan rupiah Rp100/US$, defisit APBN bertambah Rp6,2 triliun. Sepanjang tahun ini, rupiah bergerak rata-rata di Rp15.831/US$, sekitar 5,54% lebih lemah dari asumsi makro APBN 2024 yang ditetapkan di Rp15.000/US$.

Defisit yang terus membengkak bisa mengerek kebutuhan utang lebih banyak. Masalahnya, pemerintah sejauh ini terlihat cenderung menumpuk kebutuhan pembiayaan di akhir periode.

Backloading pembiayaan akan menjadi risiko baru terutama bila bunga acuan global tidak jadi turun yang bisa berimbas pada lonjakan tingkat bunga utang. 

(rui/aji)

No more pages