Dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025, pemerintah memperkirakan defisit anggaran tahun depan bisa mencapai 2,82% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Lebih tinggi dibandingkan tahun ini yang diperkirakan 2,29% PDB.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan proyeksi defisit fiskal 2025 telah mempertimbangkan kebutuhan anggaran untuk program prioritas pemerintahan baru di bawah komando Presiden Terpilih Prabowo Subianto.
Taimur Baig, Kepala Ekonom DBS Group, belum lama ini menyatakan program-program populis yang dicanangkan pemerintahan Prabowo-Gibran Rakabuming Raka tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Alhasil, pelebaran defisit fiskal sulit dihindari.
“Sebagian besar program yang akan menyebabkan defisit fiskal meningkat berkaitan dengan konsumsi domestik atas barang-barang yang diproduksi di dalam negeri, subsidi untuk membantu masyarakat yang sangat miskin, yang membutuhkan, subsidi dan program dukungan permintaan,” kata Baig, bulan lalu.
Pelebaran defisit fiskal. lanjut Baig, akan melahirkan risiko tersendiri. Pemerintah akan lebih banyak menerbitkan surat utang, sehingga menyebabkan tekanan kenaikan kupon (bunga) yang harus dibayarkan.
“Tentu saja, akan lebih baik jika fiskal yang lebih ketat atau bahkan defisit yang lebih rendah. Sehingga Kementerian Keuangan tidak perlu menerbitkan banyak lelang utang dan harus mengejar investor asing di seluruh dunia untuk membeli obligasi,” tegasnya.
Sementara Thomas Rookmaaker, Head of Asia-Pacific Sovereigns di Fitch Ratings, pelebaran defisit pasti terjadi agar pemerintahan Prabowo-Gibran bisa melunasi janji kampanye. Salah satunya adalah makan siang gratis bagi pelajar.
"Kami meyakini pemerintah baru ini nampaknya akan belanja besar-besaran karena ada sejumlah janji kampanye yang berarti pengeluaran akan lebih tinggi," kata Rookmaaker, belum lama ini.
(aji)