Dalam kaitan itu, Arifin menggarisbawahi Solar masih banyak digunakan untuk transportasi darat, transportasi laut, kereta api, usaha perikanan, usaha pertanian, usaha mikro, dan pelayanan umum; sehingga diperlukan upaya menjaga harga jual eceran Solar.
Dalam rangka efisiensi dan agar subsidi Solar tepat sasaran, Arifin mengatakan, diperlukan dukungan peningkatan peran oleh berbagai pihak.
“[Diperlukan dukungan dari] Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi [BPH Migas], Pertamina, maupun pemerintah daerah dalam pengendalian dan pengawasan konsumsi bahan bakar minyak [BBM] bersubsidi melalui program digitalisasi dan atau pengawasan di lapangan,” ujar Arifin.
PT Pertamina (Persero) melalui PT Pertamina Patra Niaga meminta pemerintah untuk mengkaji ulang ihwal besaran subsidi yang diberikan kepada Jenis Bahan Bakar Minyak (BBM) Tertentu (JBT) Solar.
Direktur Utama Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan tidak menampik pemerintah memang memberikan subsidi Rp1.000/liter terhadap Solar. Namun, perseroan mengaku tetap harus merogoh kocek sebesar Rp5.000/liter terhadap JBT tersebut.
“Terkait dengan JBT Solar, kami juga sedikit ingin sampaikan dan permohonan dukungan untuk melakukan peninjauan terhadap subsidi. Saat ini angka subsidi yang ada di formula besarannya Rp1.000/liter. Mohon untuk dapat dukungan untuk melakukan penghitungan ulang karena angka kompensasinya mencapai lebih kurang Rp5.000/liter,” ujarnya dalam agenda rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR RI, Selasa (28/5/2024).
Volume BBM Subsidi dalam RAPBN 2025:
- Minyak tanah: 0,51—0,55 juta kiloliter (kl)
- Minyak solar: 18,33—19,44 juta kl
(dov/wdh)