Selain itu, dalam PP No. 21/2024 telah diatur bahwa besaran iuran peserta ditetapkan sebesar 3% dari gaji atau upah untuk peserta pekerja dan penghasilan untuk peserta pekerja mandiri.
Sebanyak 2,5% ditanggung pekerja, sedangkan 0,5% oleh pemberi kerja. Hal ini dirasanya juga tidak masuk akal untuk bisa mencakup seluruh kebutuhan anggaran pembiayaan rumah.
"Iuran 3% dari penghasilan/upah yang diterima itu tidak masuk akal bisa meng-cover anggaran pembiayaan harga rumah dalam waktu pemupukan 12 bulan," tegasnya.
Untuk itu, dia lebih menekankan kepada pemerintah untuk lebih memperkuat program Manfaat Layanan Tambahan (MLT) Perumahan dari BPJS Ketenagakerjaan yang telah dihadirkan sebelumnya.
MLT merupakan layanan tambahan bagian dari Jaminan Hari Tua (JHT) yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan dan sifatnya sukarela.
"Bagi pekerja sudah ada program manfaat layanan tambahan BPJS ketenagakerjaan yaitu program kepemilikan rumah, uang muka rumah dan renovasi rumah, program ini saja yg perlu dikembangkan agar bisa lebih luas diakses pekerja, karena dananya sudah tersedia sekitar Rp160 triliunan. Ini lebih realistis," jelas Ristadi.
Pernah Gagal
Terakhir, Ristadi beranggapan tingkat kepercayaan masyarakat pekerja terhadap Tapera juga masih rendah lantaran berkaca pada program yang sama era Presiden Soeharto yaitu Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Taperum PNS) yang berujung kegagalan.
"Trust soal pengelolaan prgram Tapera rendah, karena program sebelumnya yang sama untuk ASN tidak berjalan baik dan bahkan info audit BPK ada ketidakmampuan pengembalian uang peserta sebesar Rp500 miliar lebih."
Untuk diketahui, dalam Laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II-2021 BPK, disebutkan bahwa terdapat penyaluran dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang tidak tepat sasaran sebesar Rp26,24 miliar pada 2022.
Di sisi lain, ada 40.266 orang yang justru terindikasi menjadi peserta pensiun ganda yang menyebabkan terdapat potensi pengembalian dana lebih dari satu kali sebesar Rp130,25 miliar pada 2021.
"Hal tersebut mengakibatkan pensiunan PNS/ahli warisnya tidak dapat memanfaatkan pengembalian tabungan yang menjadi haknya sebesar Rp567,45 miliar dan terdapat potensi pengembalian lebih dari satu kali kepada 40.266 orang sebesar Rp130,25 miliar."
Atas temuan itu, BPK memberi rekomendasi agar Komisioner BP Tapera melakukan kerja sama pemutakhiran data PNS dengan instansi terkait, agar dapat menghindari kesalahan data yang berpotensi menyebabkan pengembalian dana bermasalah.
Selanjutnya, BPK juga memberikan rekomendasi untuk mengembalikan tabungan peserta yang sudah meninggal dan pensiun, hingga melakukan koreksi saldo peserta ganda.
Namun, pemerintah melalui Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko telah memastikan dengan tegas bahwa program Tapera tidak akan ditunda. Dimana, program akan tetap berjalan mulai 2027 meski diwarnai protes para pengusaha hingga pekerja.
“Tapera tidak akan ditunda," ujar Moeldoko dalam konferensi pers mengenai Tapera di Istana Negara, Jakarta, Jumat (31/5/2024).
"Nanti akan berjalan untuk ASN yang setengah persen APBN setelah ada peraturan menteri dari Kemenkeu. Selanjutnya untuk pekerja swasta setelah ada Peraturan Menteri dari Kemenaker," tegas Moeldoko.
(prc/wdh)