IHPS ini juga memuat hasil pemeriksaan tematik atas dua prioritas nasional, yaitu pengembangan wilayah serta revolusi mental dan pembangunan kebudayaan.
Ketua BPK juga menyampaikan LHP atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2023, dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Pada LKPP Tahun 2023 ini, BPK turut menyoroti aspek pengelolaan APBN yang perlu mendapatkan perhatian, baik di sisi pendapatan dan sisi belanja.
Menariknya, BPK menemukan terdapat dana bantuan sosial untuk keluarga penerima manfaat (Bansos KPM) senilai Rp208,52 miliar yang tidak digunakan dan belum dikembalikan ke kas negara.
Tak hanya itu, terdapat pula kelebihan dan potensi kelebihan pembayaran senilai Rp166,27 miliar dan US$153.220 yang disebabkan pelaksanaan belanja modal tahun 2022 dan semester I tahun 2023 tidak sesuai ketentuan.
"Pada pemeriksan pengelolaan pendapatan dan belanja kementerian dan lembaga, ditemukan bantuan keluarga penerima manfaat yang tidak bertransaksi senilai Rp208,52 miliar belum dikembalikan ke kas negara," ujar Isma.
Isma menyebutkan IHPS II Tahun 2023 juga memuat hasil pemeriksaan yang menunjukkan permasalahan pada pemeriksaan kinerja efektivitas perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) dan kerja sama dalam upaya pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Selain itu, perjanjian kerja sama Pemerintah Indonesia dengan negara-negara di Asia Tenggara belum mencakup peningkatan kapasitas penanganan korban TPPO.
Terdapat pula permasalahan pada pemeriksaan kinerja aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, serta pemenuhan kewajiban pemegang perizinan berusaha dan persetujuan lingkungan.
"Ditemukan ketidakselarasan regulasi pengelolaan pemungutan PNBP (pendapatan negara bukan pajak) perdagangan karbon, dan kewajiban pemegang perizinan berusaha pemanfaatan hutan yang belum terpenuhi," kata Isma.
BPK juga melakukan pemeriksaan atas pendapatan, biaya, dan investasi BUMN dan badan lainnya, di mana ditemukan antara lain PT Indofarma Tbk dan PT IGM (anak perusahaan Indofarma) melakukan pengadaan alat kesehatan tanpa studi kelayakan dan penjualan tanpa analisa kemampuan keuangan customer, sehingga mengakibatkan potensi kerugian Rp146,57 miliar.
(lav)