Ian Guthrie, Direktur Pelaksana Senior Divisi Penasihat Pinjaman Jones Lang LaSalle Inc. (JLL) mengatakan, segala penurunan nilai pasar perumahan terbilang unik. Pengetatan suku bunga tidak mengurangi tekanan pasar. Justru dapat dikatakan segala bentuk pinjaman yang berjalan menghadapi risiko gagal bayar.
Data JLL menunjukkan satu dari 10 pinjaman korporasi di Eropa menghadapi risiko kredit yang lebih besar akibat buruknya kinerja.
Perusahaan properti tidak diuntungkan dengan situasi saat ini. Dimana uang tidak bisa didapat lagi secara mudah. Ancaman resesi global juga meningkatkan potensi inflasi di banyak negara, dan berdampak pada industri khususnya properti. Dan, pandemi yang terjadi tiga tahun lalu membuat banyak pemilik perumahan komersial bangkrut.
Unit real estate, Brookfield, pada medio November menyatakan akan menghadapi tantangan refinance utang di dua downtown kota Los Angeles, bahkan terancam disita. Analis dari Barclays Plc menyatakan kasus ini bisa jadi perhatian serius.
Developer Legoland Korea bahkan telah menunda pembayaran utang dan memicu kredit macet di negara tersebut. Situasi ini membuat bank sentral setempat langsung bertindak demi stabilitas pasar. Caydon Property Group Ltd. Australia berpandangan lockdown akibat pandemi Covid-19 dan kenaikan suku bunga jadi awal mula situasi di pasar perumahan memburuk. Nicole Lux dari Bayes Business School memprediksi sebentar lagi terjadi hal buruk pada pasar perumahan di Inggris.
Builders FirstSource, supllier bahan bangunan AS telah mengurangi 2.600 karyawan, sementara Made.com, e-commerce asal Inggris sudah mengumumkan kebangkrutan. Electrolux AB, produsen kebutuhan rumah tangga asal Swedia juga mengumumkan melakukan pengurangan 4.000 karyawan sejak tahun lalu.
Michael Knott, dari Green Street, memperkirakan pasar properti AS akan turun 5%-10%, meski demikian ini dinilai masih ada pada titik keseimbangan baru. Nilai properti komersial yang turun “masih kemahalan”.
China menghadapi situasi yang sama. Pada September tahun lalu pembangunan dua juta rumah dihentikan. Ini membuat industri properti melambat. Alhasil China menghadapi dua tekanan, selain suplai perumahan baru terhenti juga banyak masyarakat yang sudah terlanjur pindah dari bangunan lama mereka.
Otoritas Beijing melakukan relaksasi dengan memberi kelonggaran perusahaan properti dalam berutang. Hal ini terjadi usai International Monetary Fund (IMF) memberi peringatan risiko gagal bayar yang lebih besar oleh developer di China. Ini terjadi karena proyek belum selesai dibangun. Pada saat yang sama likuiditas terus berkurang.
Professor Kenneth Rogoff dari Harvard University menjelaskan situasi di China tidak bisa diperbaiki dalam waktu cepat. China menghadapi risiko sejak mereka melakukan pembangunan besar-besaran.
(wep)