Lebih lanjut, ia menyebut pemerintah perlu menjaga keseimbangan antara imbal hasil yang menarik bagi investor dengan cost of fund atau biaya yang harus ditanggung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan perekonomian yang menjadi prioritas.
Bendahara Negara menjelaskan hal tersebut sangat penting sebab terdapat 14% investor global di pasar SBN, yang cukup sensitif terhadap harga dan dapat memicu keluarnya dana asing jika tidak dikelola dengan baik.
“Di sisi lain, upaya menjaga stabilitas nilai tukar dan yield SBN, termasuk pasar keuangan lebih luas, terus dilakukan melalui pendalaman pasar keuangan, sebagaimana amanat Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK),” ujar Sri Mulyani.
Sebagai tambahan, pada 3 Juni 2024 imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Indonesia seri acuan tenor 10 tahun berada di kisaran 6,9%. Setahun yang lalu, angkanya masih di sekitar 6,4%.
Terlebih, suku bunga sepertinya masih akan berada dalam tren tinggi. Di Amerika Serikat, yang merupakan pusat perekonomian dunia, pasar masih samar-samar soal arah suku bunga acuan.
Mengutip CME FedWatch, peluang Federal Funds Rate untuk bertahan di 5,25-5,5% dalam rapat September mencapai 47,9%. Lebih tinggi dibandingkan probabilitas turun 25 basis (poin) ke 5-5,25% yakni 45,7%.
Para pejabat teras Federal Reserve pun ramai-ramai menyatakan bahwa belum saatnya bicara soal penurunan suku bunga acuan. Federal Funds Rate tetap akan bertahan tinggi untuk waktu lama (higher for longer).
Gubernur The Fed Dallas Lorie Logan, misalnya, menegaskan bahwa pengetatan moneter belum sepenuhnya berhasil dalam mengerem laju ekspansi ekonomi, yang berujung pada inflasi yang masih ‘bandel’.
“Terlalu dini untuk berpikir soal penurunan suku bunga. Saya butuh solusi atas semua ketidakpastian ini. Kami harus tetap fleksibel dan melihat perkembangan data,” katanya bulan lalu, seperti diwartakan Bloomberg News.
(azr/lav)