Hendra menyebut, pihaknya akan menggunakan Starlink sebagai infrastruktur penyambung tersebut. Dengan begitu perusahaan mampu menghemat baik dari segi biaya maupun efisiensi waktu yang dikeluarkan perusahaan.
“Kami bisa bangun tower disitu dan operator bisa taruh BTS-nya untuk hubungkan BTS ke network atau ke backbone itu. Alih-alih [gunakan] fiber optik, kami gunakan Starlink, sehingga penetrasi di daerah (Indonesia bagian} Timur akan jauh lebih gampang,” ujar Hendra.
Ke depanmasyarakat dapat menggunakan Starlink secara langsung dari perangkat yang dimiliki masing-masing, tanpa perlu berlangganan perangkat atau satelit milik Starlink, tegas Hendra.
Mengomentari keberadaan dan telah resminya Starlink operaasi di Indonesia melalui badan hukum PT Starlink Services Indonesia, tidak akan berdampak pada kinerja Mitratel. Hendra justru berpendapat keberadaan Starlink justru menumbuhkan permintaan menara perusahaan.
“Dari sekitar 4.000 paling tidak minimal sampai sekarang sudah lebih dari 1.000, jadi sebenarnya nggak efek, malah dengan adanya Starlink kita terima order lebih banyak,” ujarnya.
Pernyataan Mitratel bertolakbelakang dengan jajaran direksi Telkom, induk usaha perusahaan saat menggelar dapat dengan DPR minggu lalu. Masuknya Starlink ke segmen B2C atau ritel berjualan langsung ke masyarakat berpotensi mampu menggerus pasar pemain lokal termasuk PT Telkom.
“Peluang itu [bisnis Telkom tergerus] ada, ini saya ngomong apa adanya,” Ririek Adriansyah, Dirut Telkom. “Kalau eksistensi meningkat tajam, harganya juga jauh menurun, dan akhirnya lebih kompetitif, peluang itu ada, akan tergerus.”
Bogi Witjaksono, Direktur Wholesale dan Layanan Internasional Telkom menambahkan bahwa sejak 2022 Starlink memang telah menjalin kerja sama dengan Telkom, sebagai penyedia layanan backhaul.
“Tidak lama setelah itu di 2024 sudah mengembangkan layanan langsung ke konsumen (direct to cell). Memungkinkan Starlink bisa mengakses langsung dalam waktu dekat, walau sekarang untuk kebutuhan darurat dan pesan singkat,” jelas Bogi yang juga menjabat Komisaris Telkomsat.
“Dalam konteks untuk layanan langsung ke pelanggan, mungkin memang seperti disampaikan beberapa kali, negara perlu hadir karena secara teknologi, kami tidak bisa membendungnya.”
Sebelumnya asosasi pelaku jasa terkait telekomunikasi memberi pernyataan dalam sebuah diskusi di kantor Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bahwa Starlink dapat mengancam eksistensi mereka. Perilaku predatory pricing juga menjadi kecemasan, bahwa Starlink menetapkan harga paket internet lebih murah dibandingkan lainnya. Ini masih ditambah diskon Rp3 juta untuk pembelian perangkat, hingga calon pelanggan cukup membayar Rp3,9 juta.
“Terdapat kekhawatiran adanya predatory pricing yang dilakukan Starlink yang dapat menggerus pelaku usaha UMKM. Begitupun dengan regulasi yang menjadi acuan dalam bisnisnya, asosiasi mempertanyakan apakah Starlink menggunakan acuan regulasi yang sama mengingat teknologi yang digunakannya merupakan teknologi baru,” tulis KPPU dalam rangkuman hasil diskusi kelompok, 29 Mei 2024 lalu.
KPPU merespons dengan membuka layanan aduan jika ada pihak menemukan adanya kecurangan dalam menetapkan biaya produksi, termasuk potensi adanya predatory pricing, kata Anggota KPPU Eugenia Mardanugraha.
Starlink Indonesia membantah seluruh anggapan. Lewat kuasa hukum, perusahaan menyatakan, “Starlink menyatakan bahwa telah mematuhi seluruh regulasi dan telah melaksanakan kewajiban yang telah ditetapkan, hal ini dapat dikonfirmasi kepada regulator dalam hal ini, Kementerian Komunikasi dan Informatika.”
(wep)