Wakil Presiden Direktur Freeport Indonesia Jenpino Ngabdi mengatakan, jika PTFI tidak memperoleh perpanjangan ekspor konsentrat tembaga selepas Mei, kemungkinan setoran Freeport ke RI hanya akan mencapai US$2,9 miliar tahun ini.
Jenpino menjelaskan penerimaan negara dari Freeport pada 2023 mencapai US$2,7 miliar dalam bentuk pajak, dividen, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Dia menyebut jumlah tersebut relatif kecil dibandingkan dengan tahun sebelumnya lantarann dividen yang diterima PT Mineral Industri Indonesia (MIND ID) —holding BUMN pertambangan pemilik 51% saham PTFI— menurun.
“Penurunan tersebut dipicu terbitnya peraturan devisa hasil ekspor [DHE] yang mengharuskan 30% dari hasil ekspor ditempatkan selama 3 bulan di bank dalam negeri,” ujarnya di sela rapat bersama Komisi VI DPR RI, Senin (3/6/2024).
“Dan juga adanya bea keluar yang dikenakan untuk ekspor konsentrat Freeport untku Juli—Desember 2023,” lanjutnya.
Pada kesempatan yang sama, dia juga mengatakan pendapatan perusahaan sanggup menyentuh US$11,5 miliar (sekitar Rp186,56 triliun) pada 2024, setelah pemerintah memberikan relaksasi ekspor konsentrat tembaga.
Jenpino melaporkan, pada 2023, pendapatan PTFI mencapai US$9,3 miliar. Tahun ini, perusahaan memproyeksikan pendapatan akan anjlok menjadi US$7,4 miliar jika pemerintah tidak memperpanjang izin ekspor konsentrat tembaga selepas Mei.
“Namun, apabila kami diberikan izin ekspor, pendapatan akan mencapai US$11,5 miliar pada tahun ini,” ujarnya.
Demikian halnya dengan laba bersih, yang ditaksir mencapai US$4,2 miliar pada 2024 dengan skenario relaksasi ekspor dan US$2,2 miliar jika tidak ada perpanjangan izin ekspor konsentrat tembaga. Sepanjang 2023, Freeport mencatat laba US$3,2 miliar.
“Dari sisi EBITDA, pada 2023 kami mencapai US$5,8 miliar. Proyeksi 2024, EBITDA ini diperkirakan US$4,4 miliar jika tanpa izin ekspor dan apabila dengan izin ekspor akan mencapai US$7,6 miliar,” kata Jenpino.
Adapun, tembaga sendiri menjadi salah satu komoditas pertambangan yang sedang dipantau ketat oleh pasar pada pekan ini. Penyebabnya, pasar tembaga global dicekam oleh kekhawatiran akan kelangkaan yang mendorong harga mencapai rekor tertinggi.
Namun, di China —yang merupakan produsen dan konsumen logam olahan terbesar di dunia— jumlah tersebut lebih dari cukup untuk dibagikan. Inti masalah dari keterputusan ini adalah pabrik peleburan atau smelter tembaga yang terus berkembang di negara ini.
Industri ini mempertahankan produksi pada tingkat yang mendekati rekor —meskipun terjadi kelangkaan bahan mentah — karena harga yang lebih tinggi membuka lebih banyak besi tua untuk diproses.
(wdh)