Logo Bloomberg Technoz

Dia melanjutkan bahwa pada 2020 Bea Cukai kemudian melihat lagi modus yang sama pada 2016. Lalu berdiskusi dengan PPATK mengenai hal ini. Namun menurut Bea Cukai apabila modus sama maka kemungkinan Bea Cukai bisa kalah lagi maka dilakukanlah pengejaran dari pajak.

"Dengan logika seperti itu Agustus 2020 disepakati kalau tindak kepabeanan enggak kena maka kena kejar pajaknya dan PPATK kirim lagi hasil pemeriksaan pajak bulan Oktober 2020," katanya.

Sebelumnya saat rapat di Komisi III DPR, Menko Polhukam Mahfud MD menjelaskan laporan PPATK tentang adanya entitas yang melakukan transaksi mencurigakan terkait kepabeanan sebesar Rp 189 triliun yang laporannya pada 2017. Yang menerima adalah Dirjen Bea Cukai, Irjen dan 2 orang lainnya dari Kemenkeu. Namun laporan itu bak mengendap dan baru digaungkan setelah PPATK kembali bersurat ke Menkeu Sri Mulyani.

"Laporan itu diberikan 2017 oleh PPATK dan tak pakai surat diserahkan kepala PPATK langsung ke Kemenkeu yang diwakili oleh Dirjen Bea cuka, Irjen Kemenkeu dan dua orang lainnya. Ini serahkan kenapa enggak pakai surat karena ini sensitif. Dua tahun enggak muncul, tahun 2020 dikirim juga enggak sampai juga ke bu Sri Mulyani sehingga (Sri Mulyani) bertanya ketika kami dikasih itu. Yang dijelaskan yang salah," kata Mahfud yang juga Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU itu.

Lalu 2019 dilakukan penelitian kembali PK atas permintaan terlapor, di PK Bea Cukai kalah lagi

Wamenkeu Suahasil Nazara

Anehnya kata Mahfud, Kemenkeu malah mengejar pajaknya padahal yang terendus adalah TPPU dari kepabeanan yang nilainya seharusnya lebih besar. Sementara jika dikejar dari sisi pajak maka angka pengembalian kepada negara jadi lebih kecil.

(ezr)

No more pages