Logo Bloomberg Technoz

Percepatan ekspansi manufaktur yang ditunjukkan oleh indeks swasta tersebut dapat mengimbangi beberapa kekhawatiran mengenai kemungkinan melemahnya momentum di sektor manufaktur, yang diandalkan oleh Beijing untuk meningkatkan perekonomian tahun ini.

Eksportir melihat pesanan baru meningkat selama lima bulan berturut-turut pada Mei, berdasarkan hasil survei Caixin. Hal ini menunjukkan permintaan luar negeri yang kuat terhadap barang-barang China.

Para ekonom mengaitkan perbedaan antara survei resmi dan survei swasta tahun ini dengan meningkatnya permintaan eksternal, tetapi lemahnya pasar domestik. PMI Caixin telah mengungguli indeks resmi selama tujuh bulan berturut-turut sejak Oktober.

Pabrik manufaktur China. (Dok: Bloomberg)

Ancaman Tersembunyi

Gejala kebangkitan manufaktur China yang terjadi bersamaan dengan masih lemahnya permintaan di dalam negeri mereka juga mulai diendus oleh pelaku industri di Indonesia, khususnya yang merasa terancam dengan risiko gempuran produk murah Negeri Panda seperti sektor tekstil dan produk tekstil (TPT).

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmadja menilai sampai saat ini gejala kebangkitan China menjadi salah satu alasan kekhawatiran terbesar dalam perkembangan industri manufaktur, tidak hanya di Indonesia tetapi seluruh dunia.

Terlebih, China kerap kali diketahui menjual barang di luar negaranya dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan harga di dalam negeri mereka (dumping), khususnya saat kapasitas dan utilisasi pabrikan mereka sedang optimal.

"Saya pikir bukan hanya industri TPT dari Indonesia saja yang takut. Industri TPT negara lain juga takut dengan China karena China itu giant [raksasa tekstil], dan mereka itu menguasai industrinya itu produksi 70% dari produksi TPT dunia dari material," kata Jemmy ketika dihubungi, baru-baru ini.

Sayangnya, lanjut Jemmy, pemerintah di dalam negeri justru makin merapuhkan hambatan —baik tarif maupun nontarif— dalam menangkis potensi dumping barang China ke pasar domestik.

“Pemerintah sudah tidak lagi menerapkan BMAD [bea masuk antidumping] untuk melindungi industri, terutama TPT, sejak perubahan kedua Peraturan Menteri Perdagangan No. 36/2023 jo 7/2024 jo 8/2024,” terangnya.

Buruh pabrik di China. (Dok: Bloomberg)

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menilai solusi untuk memitigasi risiko banjir barang dumping dari China adalah dengan mempermudah impor bahan baku, sambil secara paralel membangun industri lokal yang mampu memproduksi benang dan kain.

"Solusinya adalah permudah impor bahan baku dan secara paralel membangun industri yang memproduksi benang dan kain di lokal agar secara perlahan industri TPT indonesia bisa memproduksi tanpa harus menggunakan bahan Baku impor," jelas Esther.

Untuk itu, Esther menekankan pentingnya memperketat akses impor produk jadi, seperti pakaian dari berbagai negara termasuk China agar produk industri lokal bisa memenuhi permintaan pasar dalam negeri.

"Tentu ini bukan hal mudah, tetapi harus dimulai secara perlahan," tekannya.

Butuh Evaluasi

Kalangan importir menyebut ancaman dumping produk dari China yang memicu ketakutan di berbagai sektor industri nasional mencerminkan kurangnya langkah taktis pemerintah dalam membina industri di dalam negeri.

"Kalau saya melihatnya ini akibat dari tidak ada evaluasi dan langkah yang harus dilakukan pemerintah dalam membina industri dalam negeri," kata Ketua Umum Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Subandi.

Dia pun mempertanyakan banyaknya barang produksi lokal yang justru lebih mahal dibandingkan dengan barang impor yang masuk ke pasar domestik.

"Pemerintah harus menjawab pertanyaan ini dengan solusi yang jelas, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Jangan-jangan ongkos produksi di dalam negeri lebih mahal? Jangan-jangan pajak buat industrinya tinggi tanpa dapat insentif dari pemerintah? Jangan-jangan bahan bakunya tidak tersedia atau kurang?" tanyanya.

Sebagai importir, Subandi menjelaskan peran industri seharusnya adalah memenuhi permintaan pasar dengan suplai yang sesuai. Dengan demikian, menurutnya, masyarakat seharusnya berterima kasih karena bisa mendapatkan barang yang lebih murah dan terjangkau.

Jika produk dari luar negeri lebih mahal dengan kualitas rendah, atau memiliki sedikit variasi, maka aturan pembatasan impor tidak akan diperlukan karena barang tersebut tidak akan diminati.

"Saya menyarankan kepada pemerintah, ayo lakukan evaluasi. Lakukan langkah untuk mendukung hasil evaluasi. Jangan jadikan industri dalam negeri diambil pajaknya saja, tetapi berikan kepada mereka insentif agar produk yang dihasilkan baik secara kualitas, murah secara harga, banyak pilihan secara varian," tegasnya.

-- Dengan asistensi Pramesti Regita Cindy

(wdh)

No more pages