Lantas, mengapa pemerintah masih jalan terus dengan kebijakan yang berpotensi mengikis daya beli masyarakat lebih dalam, di tengah rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) tahun depan menjadi 12%, dan rencana pembatasan BBM bersubsidi, kenaikan tarif listrik serta harga berbagai barang kebutuhan dapur yang masih tinggi? Benarkah karena pemerintah tengah ‘BU’ alias butuh uang?
Yang pasti, penerapan iuran wajib Tapera berpotensi memberi tambahan likuiditas di pasar modal senilai Rp160 triliun hingga Rp268 triliun, berdasarkan perhitungan Bahana Sekuritas.
Dasar perhitungannya adalah, jumlah pekerja formal terdaftar pada 2027 diperkirakan sebanyak 43 juta orang. Pada 2027 semua pekerja apakah itu ASN/PNS/TNI/POLRI, pekerja BUMN/BUMD juga pekerja swasta serta pekerja mandiri dengan pendapatan di atas upah minimum, wajib mengikuti iuran Tapera.
“Menurut kami, iuran wajib Tapera menjadi katalis jangka menengah untuk pasar surat utang Indonesia, sementara ke pasar saham dampaknya minimal,” kata Head of Equity Research Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro dan Analyst Drewya Cinantyan dalam catatan yang diterima pekan lalu.
Iuran wajib Tapera menjadi katalis jangka menengah untuk pasar surat utang Indonesia, sementara ke pasar saham dampaknya minimal.
Satria Sambijantoro, Head of Equity Research Bahana Sekuritas
Sampai akhir 2022 lalu, BP Tapera memiliki peserta aktif sebanyak 3,8 juta pekerja yang sebagian besar adalah PNS. Jumlah itu setara sepersepuluh dari 36 juta pekerja yang saat ini terdaftar dalam sistem jaminan sosial BPJS Ketenagakerjaan.
Dengan peserta aktif sebanyak itu, pada 2022, nilai dana kelolaan BP Tapera mencapai Rp2,9 triliun di mana sebanyak 47% ditempatkan di instrumen obligasi (surat utang) korporasi, lalu sebanyak 45% di surat utang negara dan deposito pasar uang sebesar 8%.
Apabila memakai asumsi tersebut, dari perkiraan tambahan likuiditas segar hasil setoran iuran 43 juta pekerja senilai total Rp160 triliun-Rp268 triliun, maka ada sebanyak Rp72 triliun-Rp120,6 triliun berpotensi masuk ke pasar surat utang negara.
Lalu, sebesar Rp75,2 triliun-Rp125,96 triliun berpotensi masuk ke pasar obligasi korporasi dan di deposito perbankan sebesar Rp12,8 triliun-Rp21,44 triliun.
Mengacu pada Laporan Keuangan BP Tapera terakhir yang dipublikasikan yakni untuk tahun 2022, dana hasil iuran itu dikelola oleh manajer investasi dalam bentuk Kontrak Investasi Kolektif (KIK) alias reksa dana.
Kinerjanya kurang mengesankan di mana nilai aktiva bersih (NAB) reksa dana Tapera hanya tumbuh 3% per tahun, sebelum dipotong pajak.
Bila diperinci, untuk KIK Pasar Uang yang dikelola BP Tapera hanya mencatat untung bersih (nett return) 2,96%. Begitu juga KIK Pendapatan Tetap yang hanya membukukan return 2,4% nett. Sementara KIK syariah bahkan cuma tumbuh 0,59% nett. Sebagai pembanding, pada saat yang sama, tingkat bunga deposito 12 bulan di perbankan pada 2022 menyentuh 4,68% per tahun.
Dana kelolaan BP Tapera memang dibatasi pengelolaannya hanya di instrumen investasi dengan risiko rendah yaitu surat utang negara, obligasi korporasi dan deposito. Tidak mengherankan bila imbal hasil yang dibukukan pun relatif kecil.
Pengelolaan dana hasil iuran Tapera menggandeng beberapa manajer investasi. Pada 2022, manajer investasi yang terlibat dalam pengelolaan dana yang dihimpun oleh BP Tapera di antaranya adalah Bahana TCW Investment Management, Batavia Prosperindo Aset Manajemen, BNI Asset Management, Danareksa Investment Management, Mandiri Aset Manajemen Indonesia dan Schroder Investment Management Indonesia.
Adapun bank penyalur kredit perumahan adalah Bank Tabungan Nasional (BTN), sementara bank kustodian ditunjuk adalah Bank Rakyat Indonesia (BRI). Dua bank itu juga bertindak sebagai bank penyedia Kredit Pemilikan Rumah (KPR) terkait Tapera di mana BTN telah membiayai 4.077 unit dan BRI sebanyak 457 unit.
Penerimaan negara turun
Keuangan negara memang tengah menghadapi tantangan. Penerimaan negara pada April turun 7,6%, salah satunya akibat setoran pajak dari badan usaha. Di mana Pajak Penghasilan (PPH) badan usaha anjlok hingga 35,5%, setoran PPN juga turun 13,9%.
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang terdiri atas pembayaran dividen dan royalti dari BUMN serta industri sektor minyak dan gas juga turun 6,7% year-on-year. Setoran pajak dari industri pengolahan juga turun 13,8% padahal industri ini menjadi penyumbang terbesar penerimaan pajak negara dalam empat bulan terakhir dengan persentase mencapai 26%.
Pada saat yang sama, belanja pemerintah masih ekspansif di mana sampai April lalu masih naik 11% terutama untuk pembayaran Tunjangan Hari Raya Idul Fitri para PNS. Beberapa lini belanja lain juga terlihat ngebut di mana belanja barang negara naik 30,3% terutama untuk pengadaan kebutuhan seputar Pemilu sebesar Rp19,8 triliun, lalu belanja alutista untuk Kementerian Pertahanan sebesar Rp11,3 triliun dan Kepolisian RI sebesar Rp9,5 triliun.
APBN sampai April memang masih surplus Rp75,7 triliun. Namun, hal tersebut tidak selalu kabar baik karena bisa menjadi sinyal anggaran yang kurang produktif. Hal itu mengingat pembiayaan APBN sebagian besar juga mengandalkan utang dengan bunga yang harus terus dibayar.
Adapun pemenuhan kebutuhan pembiayaan dari penerbitan surat utang sampai April lalu masih 13,6% dari target tahun ini. Nilai pembiayaan bersih yang masih rendah terutama karena kebutuhan pembayaran bunga utang yang tinggi dan pembiayaan kembali (refinancing) utang jatuh tempo yang juga tinggi.
Persoalannya, realisasi pembiayaan yang rendah di tengah belanja yang agresif, memunculkan risiko backloading atau penumpukan penerbitan surat utang di sisa tahun. Hal tersebut bisa mengimplikasikan risiko tekanan fiskal yang lebih besar pada semester dua tahun ini terlebih bila bunga acuan kembali naik.
Pelemahan rupiah
Penerimaan negara yang menurun membatasi sumber dana untuk belanja APBN. Sejauh ini, APBN memang masih surplus. Akan tetapi dengan tekanan yang masih dihadapi oleh rupiah akibat ketidakpastian pasar global, ditambah ancaman lonjakan harga minyak dunia terpicu krisis geopolitik, APBN bisa menghadapi risiko defisit yang kian melebar di sisa tahun ini.
Rupiah pada pekan lalu ditutup di level Rp16.250/US$, anjlok 1,6% dalam sepekan dan menjadi mata uang terburuk di Asia. Level itu semakin jauh dari asumsi makro APBN 2024 yang ditetapkan di Rp15.000/US$. Setiap pelemahan rupiah sebesar Rp100/US$, defisit APBN berpotensi bengkak Rp6,2 triliun. Dengan kini, rupiah sudah berjarak Rp1.250/US$ dari asumsi perhitungan APBN, ada potensi penambahan defisit anggaran negara sekitar Rp77,5 triliun.
Risiko pembengkakan defisit akan kian besar apabila harga minyak melesat akibat ketegangan geopolitik di Timur Tengah maupun di Eropa. Indonesia memasang asumsi makro ICP (Indonesian Crude Price) di level US$82 per barel untuk APBN 2024. Untungnya, harga minyak jenis Brent, yang lebih dekat ke ICP, relatif telah melandai di US$81 per barel setelah awal April lalu sempat menembus US$90,13.
"Defisit APBN kemungkinan naik bila harga BBM bersubsidi dipertahankan di tengah pelemahan rupiah dan kenaikan harga minyak dunia," kata Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede seperti dilansir dari Bloomberg News.
Bila ICP bertahan di US$82 per barel dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS di Rp16.000/US$, defisit fiskal bertambah US$3,8 miliar atau setara Rp62 triliun di mana level defisit sebesar itu masih bisa ditahan oleh APBN, menurut Josua.
(rui)