Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Kalangan ahli pertambangan menilai agresivitas China dalam produksi produk turunan tembaga di pabrik peleburan atau smelter, yang bertahan pada tingkat mendekati rekor tertinggi, dapat menguntungkan Indonesia sebagai eksportir tembaga.

Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan (Perhapi) Rizal Kasli mengatakan hasil produksi smelter di China tetap diserap pasar dalam negeri, khususnya untuk menjaga tingkat penyerapan tenaga kerja dan agar pertumbuhan ekonomi tetap terjaga.

Agresivitas China – di tengah pasar tembaga global yang dicekam oleh kekhawatiran akan kekurangan pasokan dan permintaan yang terjaga– bakal mengerek harga.

“Kalau melihat tren stok tembaga di London Metal Exchange [LME] ini terjadi kekurangan pasokan. Dengan demikian, harga masih tetap menarik untuk eksportir tembaga seperti Indonesia,” ujar Rizal saat dihubungi, dikutip Minggu (2/6/2024).

Output smelter tembaga di China./dok. Bloomberg


Rizal mengatakan, saat ini pasokan pada pasar tembaga global memang tengah mengalami penurunan sejak Oktober 2023 yang berada pada level 191.000 ton. Angka itu kemudian turun menjadi 103.000 ton per 17 Mei 2024.

Hal ini menyebabkan harga naik sesuai mekanisme pasar imbas pasokan yang berkurang di tengah permintaan tinggi.

“Harga cash settlement pada Oktober 2023 masih di US$7,876 per ton dan terakhir naik menjadi US$10.668/ton,” ujar Rizal.

Dengan demikian, Indonesia tentu akan mendapatkan keuntungan tambahan dengan kenaikan harga tersebut, baik dari royalti hingga peningkatan devisa dari ekspor tembaga.

Sekadar catatan, smelter-smelter di China padahal telah berjanji untuk mengurangi kapasitas produksi mereka setelah biaya layanan mereka turun akibat terbatasnya pasokan impor bijih yang mereka gunakan sebagai bahan baku.

Prospek kekurangan tembaga di China hanyalah salah satu pilar yang mendukung reli barnstorming yang membawa harga logam tersebut di atas US$11.000 per ton untuk pertama kalinya pada awal pekan lalu.

Namun, janji pemangkasan produksi tersebut tidak kunjung dilakukan dan perekonomian China yang melemah tidak mampu menyerap kelebihan produksi tembaga di negara tersebut tersebut.

Ketidaksesuaian antara pasokan dan permintaan menjadi makin mencolok dalam beberapa hari terakhir, tecermin dari harga tembaga yang turun hingga sedikit di atas US$10.300 per ton hari ini.

Meskipun kenaikan tersebut masih sebesar 21% secara year to date (ytd), hal ini menunjukkan bahwa selama China masih mengalami kelebihan pasokan, tembaga akan kesulitan untuk mencapai kenaikan harga lebih lanjut.

(dov/wdh)

No more pages