Data terakhir yang dilansir oleh Badan Pusat Statistik mencatat, ketimpangan kepemilikan lahan di Indonesia pada 2013 mencapai 0,68. Ini berarti, sebanyak 1% populasi masyarakat di Indonesia menguasai 68% kekayaan tanah di Indonesia.
Negara baru mengatur pembatasan hak milik atas tanah oleh perorangan sebesar 5.000 meter persegi. Akan tetapi, aturan itu masih membuka banyak celah yang bisa 'diakali' sehingga memungkinkan seorang individu menguasai tanah juga properti sebanyak-banyaknya.
Sudah menjadi rahasia umum bila individu penguasa lahan ribuan hektar bukan hanya dari kalangan pengusaha saja, melainkan juga para pejabat aktif yang dalam catatan resmi memiliki timbunan aset tanah dan properti.
Hasil kajian Febri Jaya yang dimuat di Journal of Law and Policy Transformation tahun 2017 mencatat, pembatasan penguasaan tanah untuk rumah tinggal bagi individu secara umum diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Undang-Undang Prp Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.
"Namun, kedua regulasi tersebut belum memberikan ketentuan secara tegas mengenai pembatasan penguasaan tanah untuk rumah tinggal bagi individu. Kekosongan peraturan hukum mengenai pembatasan penguasaan tanah tersebut menyebabkan seseorang dapat secara bebas dan tanpa batas membeli rumah tinggal sehingga menyebabkan disparitas antara masyarakat yang berpenghasilan tinggi, menengah dan kecil," demikian ditulis Febri Jaya, dikutip Senin (3/6/2024).
Harga lahan yang semakin mahal ditengarai menjadi salah satu faktor yang membuat para pengembang tidak mudah mewujudkan hunian berkualitas. Di samping faktor lain seperti birokrasi perizinan yang masih berbelit, harga material bangunan yang kian mahal, bunga kredit yang mahal juga terbatasnya akses permodalan dari perbankan.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pernah melansir, dikutip dari website Kementerian, pada 2022 lalu 93% backlog kepemilikan sebagian besar berasal dari Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) serta 60% didominasi oleh MBR yang bekerja di sektor informal. Program Sejuta Rumah (PSR) yang digenjot pemerintah hanya berhasil menurunkan sedikit angka backlog.
Tercatat pada tahun lalu, capaian PSR mencapai 1,21 juta unit rumah, terdiri atas 1,01 juta unit rumah untuk kalangan MBR dan 207.652 unit untuk non-MBR. Angka backlog tahun lalu sudah dipangkas turun dari 2020 yang mencapai 12,7 juta. Sedangkan persentase dan jumlah rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap hunian layak turun dibanding tahun 2020 yaitu dari 29,4 juta menjadi 26,9 juta rumah tangga.
Bunga KPR Mahal
Bukan hanya harga tanah yang kian mahal yang menjegal upaya penyediaan rumah. Bunga kredit pemilikan rumah (KPR) juga masih tinggi sejauh ini. Berdasarkan hasil asesmen terakhir Bank Indonesia, yang dirilis 26 Mei lalu, Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) segmen KPR saat ini masih cukup tinggi dengan rentang yang lebar.
Beberapa bank besar yang sering diburu untuk pembiayaan KPR seperti PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), misalnya, SBDK segmen KPR ada di 7,2% saat ini, termasuk yang terendah Sementara bank-bank BUMN seperti PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) sebesar 7,4%, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dengan SBDK 7,3%, kemudian PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) 7,25% juga PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) 7,4%.
Bank-bank swasta lain seperti Bank Danamon juga Maybank ada di 8%, CIMB Niaga di 7,55%, sedangkan Bank Mega di 10,6%. Sementara SBDK KPR tertinggi saat ini tercatat di Bank Bisnis sebesar 13,85%.
SBDK menjadi bunga dasar KPR sebelum ditambahkan premi risiko dan margin untung di mana penentuan kedua hal itu akan bergantung pada hasil analisis risiko kredit tiap nasabah dan kebijakan margin perbankan. Artinya, bunga KPR jauh lebih tinggi ketimbang angka-angka tersebut. Contohnya, BCA. Dengan SBDK 7,2%, bunga KPR floating rate saat ini masih di angka 11%.
Subsidi Bunga KPR
Penanganan backlog perumahan sejauh ini terlihat lebih berat membantu sisi demand dengan mendukung lini pembiayaan agar masyarakat bisa membeli rumah. Misalnya dengan penyediaan subsidi bunga KPR atau keringanan uang muka KPR melalui skema FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan).
Skema itu sederhananya adalah memberikan subsidi bunga KPR di mana pemerintah menanggung selisih antara bunga KPR bank dengan bunga subsidi.
Skema FLPP memungkinkan masyarakat berpenghasilan rendah mengakses pembelian rumah dengan KPR bunga rendah di angka 5%. Jadi, ketika bunga KPR bank yang terlibat ada di 11%, maka selisih sebesar 6% ditanggung oleh pemerintah.
Selama 2023, dikutip dari laman BP Tapera, penyaluran dana FLPP telah mencapai Rp26,3 triliun untuk 229.000 unit rumah. Lalu sebesar Rp895 miliar untuk subsidi uang muka 220.000 unit. Bantuan biaya administrasi sebesar Rp52 miliar untuk 13.993 unit rumah dan Rp1,09 triliun dana peserta Tapera untuk penyaluran 7.020 unit rumah.
Untuk 2024 ini, dalam Nota Keuangan RAPBN Tahun 2024, pemerintah mengalokasikan dana FLPP dari dana DIPA sebesar Rp13,72 triliun, pengembalian pokok atas dana yang sudah digulirkan sebesar Rp7,09 triliun, dan saldo awal dana FLPP per Januari 2024 sebesar Rp230,97 miliar sehingga total dana yang direncanakan disalurkan untuk tahun 2024 sebesar Rp21,04 triliun untuk 166.000 unit rumah.
Subsidi bunga KPR sejauh ini mungkin sudah terbukti membantu penurunan angka backlog. Akan tetapi, ketika di lini supply, penyediaan rumah yang terjangkau masih harus terjegal lonjakan harga lahan yang terus melejit akibat praktik penguasaan tanah yang tanpa batas, masalah backlog perumahan akan terus membentur dinding.
Perlu ada intervensi dari otoritas untuk mengendalikan lonjakan harga tanah agar tidak semakin mahal tak terkejar oleh laju pendapatan masyarakat umum.
(rui/aji)