"Sampai kapan deadlock selesai? maka itu butuh desain besar, yang sudah punya rumah sebagian tabungannya subsidi biaya KPR untuk orang yang belum punya rumah, supaya bunga tetap terjaga di level lebih rendah dari bunga KPR komersial, sekarang 5%," papar Heru.
Dia menegaskan tidak semua pekerja wajib menjadi peserta Tapera, melainkan hanya pekerja yang penghasilannya paling sedikit sebesar upah minimum yang wajib menjadi peserta. Sementara itu, pekerja mandiri yang berpenghasilan di bawah upah minimum dapat menjadi peserta.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menetapkan PP No. 21/2024 tentang perubahan atas PP No. 25/2020 tentang Tapera.
Dalam PP No. 21/2024, besaran iuran peserta ditetapkan sebesar 3% dari gaji atau upah untuk peserta pekerja dan penghasilan untuk peserta pekerja mandiri.
Penjelasannya tertulis dalam Pasal 15 ayat (2): "Besaran simpanan peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk peserta pekerja ditanggung bersama oleh pemberi kerja sebesar 0,5% dan pekerja sebesar 2,5%.”
Pengelolaan dana iuran oleh BP Tapera sendiri mulai dilakukan sejak 2021 dan merupakan bagian dari program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan atau FLPP yang sebelumnya dimandatkan kepada Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP).
PP tersebut juga mengatur bahwa iuran Tapera diberlakukan untuk seluruh pekerja, baik pegawai negeri maupun swasta, pegawai BUMN/BUMD/BUMDes, serta TNI/Polri.
Iuran yang berasal dari ASN/PNS maupun pekerja yang menerima gaji dari APBN/APBD akan diatur oleh Kementerian Keuangan melalui koordinasi bersama Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Sementara itu, iuran Tapera dari pegawai BUMN, BUMD, BUMDes, dan karyawan swasta akan diatur oleh Menteri Ketenagakerjaan, dan iuran dari pekerja mandiri akan diatur langsung oleh BP Tapera.
Menanggapi hal itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) secara tegas menyatakan keberatan dengan aturan terbaru iuran Tapera sebesar total 3%, lantaran dinilai hanya menambah beban baru bagi pekerja dan pelaku usaha.
"Pemerintah sebaiknya mempertimbangkan kembali diberlakukannya Peraturan Pemerintah No.21/2024. Hal ini lantaran tambahan beban bagi pekerja sebesar 2,5% dan pemberi kerja 0,5% dari gaji yang tidak diperlukan," ungkap Ketua Umum Apindo Shinta W. Kamdani dalam keterangan tertulisnya, dikutip Rabu (29/5/2024).
Shinta pun mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang pemberlakukan PP ini, sebab dalam catatan Apindo pemberi kerja telah menanggung beban pungutan sebesar 18,24%—19,74% dari penghasilan pekerja.
Perinciannya yakni iuran berupa Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (berdasarkan UU No. 3/1999) berupa Jaminan Hari Tua (JHT) 3,7%, Jaminan Kematian 0,3%, Jaminan Kecelakaan Kerja 0,24-1,74%, dan Jaminan Pensiun 2%.
Lalu, Jaminan Sosial Kesehatan (berdasarkan UU No.40/2004) berupa Jaminan Kesehatan 4%, hingga Cadangan Pesangon (berdasarkan UU No. 13/2003) sesuai dengan PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) No. 24/2004 berdasarkan perhitungan aktuaria sekitar 8%.
"Beban ini makin berat dengan adanya depresiasi Rupiah dan melemahnya permintaan pasar," tegas Shinta.
Lebih lanjut, Shinta juga menyatakan Apindo telah berdiskusi dengan berbagai pihak terkait seperti BPJS Ketenagakerjaan dan Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) untuk mempercepat perluasan program MLT untuk kebutuhan perumahan pekerja.
Dengan demikian, dirinya menyarankan agar pemerintah bisa memanfaatkan secara maksimal Manfaat Layanan Tambahan (MLT) dari dana program JHT BPJS Ketenagakerjaan.
"Untuk itu, Apindo terus mendorong penambahan manfaat program MLT BPJS Ketenagakerjaan sehingga pekerja swasta tidak perlu mengikuti program Tapera dan Tapera sebaiknya diperuntukkan bagi ASN, TNI/Polri."
"Jika pemerintah tetap akan menerapkannya diharapkan dengan dana yang terkumpul dari ASN, TNI/POLRI untuk manfaat mereka yang sepenuhnya ada dalam kontrol pemerintah. Mengingat pekerja yang telah menjadi anggota BPJS Ketenagakerjaan memiliki kesempatan untuk memanfaatkan dana BPJS Ketenagakerjaan yang dapat digunakan untuk program perumahan," ujarnya.
(lav/hps)