Logo Bloomberg Technoz

Pada tahun ini, mitos "Sell in May and Go Away" terlihat jelas menjadi kenyataan. Setelah IHSG mengalami koreksi yang cukup tajam sepanjang Mei hingga mencapai 3,39%, bersamaan dengan tekanan jual yang digencarkan oleh investor asing dengan mencetak aksi jual bersih (Net Sell) mencapai Rp14 triliun di sepanjang Mei.

Sentimen negatif yang telah terjadi menjadi faktor pendorong penurunan tersebut. Salah satunya adalah pernyataan dari pejabat tinggi Bank Sentral Amerika Serikat (Federal Reserve/The Fed) yang bersitegas bersikap Hawkish, mencermati tingkat inflasi yang masih tinggi.

Terlebih lagi, sentimen negatif pada bulan Mei juga datang dari kenaikan imbal hasil US Treasury, surat utang Pemerintah Amerika Serikat, melonjak melesat indikasi kejatuhan harga di mana yield UST-10Y sempat menguat ke 4,614%% dan tenor 2Y menyentuh 4,975% semakin mendekati 5% lagi. Yield US Treasury di semua kurva mencatat kenaikan.

Kejatuhan harga Treasury, dipicu oleh sinyal yang keluar dari hasil lelang US Treasury oleh Kementerian Keuangan AS kala itu. Lonjakan imbal hasil Treasury berlanjut pasca penjualan obligasi AS tenor 7Y mencatat permintaan yang lemah.

Tekanan juga terjadi dari harga-harga komoditas global yang berdampak langsung kepada gerak saham di IHSG, seperti WTI Crude Oil yang melemah 4%, batu bara ICE Newcastle (Australia) terjungkal 2,59%, sedangkan harga emas tertahan dengan kenaikan terbatas 0,68% secara point-to-point.

Harga komoditas tersebut merupakan efek dari penurunan permintaan dari sejumlah negara akibat adanya kekhawatiran mengenai potensi perlambatan ekonomi global secara luas di tengah tanda-tanda Federal Reserve akan mempertahankan suku bunga yang tinggi berlangsung lebih lama, Higher for Longer.

(fad/aji)

No more pages