Pada bulan Maret, AS, Inggris, dan Selandia Baru menuduh China mensponsori aktivitas jahat bidang siber. Aksi ini menargetkan lembaga-lembaga demokratis. London dan Washington mengatakan bahwa para peretas yang didukung oleh Beijing telah menargetkan para politisi, perusahaan, dan para pembangkang selama bertahun-tahun, dan mencuri sejumlah data pemilih Inggris.
China juga melihat dirinya sebagai korban serangan siber dari AS dan sekutunya. China secara rutin menolak tuduhan peretasan.
Beijing secara khusus membantah klaim AS, Inggris, dan Selandia Baru pada awal tahun ini, dengan menyebutnya “tidak berdasar dan tidak bertanggung jawab.”
Pemerintah Presiden Xi Jinping mengatakan bahwa mereka menghadapi “risiko dan tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya” dalam menjaga rahasia negara. China telah meningkatkan pelatihan di lembaga pemerintah, universitas, dan perusahaan milik negara tentang cara menjaga rahasia negara.
China baru-baru ini memulai reorganisasi besar-besaran terhadap pasukan sibernya, dengan mengumumkan akan mengakhiri Strategic Support Force yang dibentuk lebih dari delapan tahun yang lalu. Pasukan awalnya bertujuan untuk meningkatkan kemampuan di bidang ruang angkasa, siber, politik, dan perang elektronik.
Sebagai gantinya, pemerintah Xi akan membentuk Information Support Force.
Haugh menggantikan pensiunan Jenderal Paul Nakasone sebagai NSA and Cyber Command pada awal tahun ini. Sebelum mengambil peran tersebut, Haugh memperingatkan tentang ancaman yang dapat ditimbulkan oleh AI pada pemilu 2024. Bahaya lain adalah potensi ekspor teknologi AI oleh China untuk mengendalikan populasi sipil.
(bbn)