“Kombinasi antara instrumen suku bunga acuan, pengelolaan devisa, manajemen arus modal, serta kebijakan makroprudensial adalah ciri khas dari Asean. IMF dan BIS merekomendasikan jurus policy mix ini kepada pengambil kebijakan di Asean, agar mereka dapat memformulasikannya sesuai dengan kebutuhan di masing-masing negara,” jelas Perry.
Kedua, menyokong agenda global dalam hal pembayaran lintas batas. Dalam konteks ini, Asean telah memulai inisiatif sistem pembayaran lintas batas antara Indonesia, Singapura, Thailand, Malaysia, dan Filipina sejak momentum G20 pada November 2022.
“Tahun ini, kami akan memperluasnya ke seluruh anggota ASEANw. Kawasan ini telah merasakan keuntungan dari sistem pembayaran lintas batas yang cepat, murah, transparan, dan inklusif. Ini juga cara kami menangkap peluang digitalisasi sistem keuangan agar memberikan manfaat bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), generasi muda, serta perempuan,” tutur Perry.
Ketiga, pengurangan ketergantungan terhadap mata uang utama global, khususnya dolar Amerika Serikat (AS). Di tengah dinamika keuangan global yang terdampak oleh tren kenaikan suku bunga oleh bank-bank sentral ekonomi maju, Perry menilai agenda ketiga ini menjadi penting bagi Asean.
“Agar pasar berkembang terhindar dari dampak yang tidak diinginkan, kita harus melindungi ekonomi kita melalui kebijakan makro yang prudent. Namun, hal yang lebih penting adalah mendiversifikasi penggunaan mata uang dalam transaksi perdagangan dan investasi. Mengurangi dependensi terhadap mata uang utama dapat mengurangi volatilitas nilai tukar kita dan memperkuat ekonomi domestik dari dampak eksternal,” ujarnya.
BI sebelumnya berencana memperluas kerja sama transaksi bilateral berbasis mata uang uang lokal atau local currency settlement (LCS) dengan Korea Selatan dan India, bahkan Arab Saudi. Skema tersebut telah disepakati Indonesia dengan empat negara, yaitu; China, Jepang, Malaysia, dan Thailand.
Menurut catatan BI, penggunaan LCS antara Indonesia dan Malaysia hingga saat ini telah mencapai 4% dari total transaksi, dengan nilai US$ 1,2 miliar. Penggunaan LCS dengan Thailand mencapai US$ 600 juta atau 3% dari total transaksi bilateral. Adapun, dengan China dan Jepang, masing-masing mencapai US$ 1,6 miliar mendekati US$ 2 miliar.
Beberapa bank telah memenuhi kriteria utama untuk memfasilitasi transaksi bilateral berbasis LCS. Bank-bank yang ditunjuk tersebut antara lain memenuhi kriteria sebagai bank yang berdaya tahan dan sehat di setiap negara, memiliki pengalaman dalam memfasilitasi perdagangan antarkedua negara, memiliki hubungan bisnis dengan bank di kedua negara, dan memiliki basis konsumen dan jaringan kantor cabang yang luas di negara asal.
Kerja sama transaksi menggunakan mata uang lokal tidak sebatas pada aktivitas ekspor impor, tetapi juga dalam sistem pembayaran lintas negara. LCS juga termasuk dalam fitur di kerja sama pembayaran berbasis kode respons cepat atau quick response (QR) code antara Indonesia dengan Thailand.
(wdh/evs)